Ukiran Lambang Garuda Pancasila

dapatkan Ukiran Lambang Garuda Pancasila di www.garudajepara.com. mengingat dalam undang-undang dasar 45 mewajibkan bangsa indonesia untuk melengkapi ruangan instansi dengan memasang atribut lambang garuda pancasila.
Anda boleh membaca atau mengcopy artikel-artikel di blog ini secara GRATISS, karena kami yakin anda juga adalah salah seorang yang selalu ingin belajar untuk maju. Semoga artikel-artikel kami bermanfaat untuk kalian semua. Amin

Rabu, 11 Mei 2011

Asal Mula Pulau Sangkar Ayam


Asal Mula Pulau Sangkar Ayam
Riau - Indonesia

Indagiri Hilir dengan luas wilayah 18.812,97 km2 merupakan sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Riau, Indonesia. Wilayah kabupaten Indragiri Hilir sebagian terdiri dari pulau besar dan pulau-pulau kecil yang umumnya telah berpenghuni. Salah satu pulau kecil yang cukup terkenal dan melegenda di wilayah ini adalah Pulau Sangkar Ayam. Konon, keberadaan pulau ini disebabkan oleh sebuah peristiwa yang pernah terjadi daerah itu. Peristiwa apa sebenarnya yang terjadi yang menyebabkan pulau ini ada? Lalu kenapa pulau ini diberi nama Pulau Sangkar Ayam? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Pulau Sangkar Ayam berikut ini!

* * *

Alkisah, di Pantai Solop, Indragiri Hilir, Riau, Indonesia, ada seorang guru mengaji dan silat yang bernama Tuk Solop. Umurnya sudah mulai udzur. Janggutnya yang lebat sudah berwarna putih. Jika berjalan, ia harus ditopang dengan tongkat sakti pemberian gurunya. Tuk Solop seorang guru yang sakti dan terkenal hingga ke pelosok negeri. Walaupun sakti, ia tetap rendah hati. Ia sangat sopan dan santun jika bertutur sapa. Kepada yang muda ia sayangi, dan kepada yang tua ia hormati. Ia memiliki banyak murid yang datang dari berbagai pelosok negeri. Namun herannya, sejak tujuh purnama yang lalu tidak ada lagi yang hendak berguru kepadanya. Murid-muridnya yang sudah tamat kini sudah pergi, tidak tersisa seorang murid pun. Pantai Solop pun menjadi sepi.

Sementara itu, tidak jauh dari Pantai Solop, ada sebuah dusun yang bernama Serimba. Di dusun itu ada seorang pemuda bernama Pendekar Katung. Ia sangat sakti dan memiliki ilmu silat tingkat tinggi. Kerisnya dapat menyala bagaikan halilintar. Tubuhnya kebal terhadap segala jenis senjata tajam. Namun, sifatnya bertolak belakang dengan sifat Tuk Solop. Ia sangat angkuh dan sombong. Ia memiliki berpuluh-puluh murid dan pengawal yang setia.

Pendekar Katung adalah seorang pendekar yang kaya-raya. Ia menjadi kaya karena selalu menang taruhan menyabung ayam. Ia memiliki ayam jago yang belum terkalahkan. Sudah ratusan ayam yang mati oleh ayam jagonya itu, sehingga Pendekar Katung semakin terkenal sampai ke pelosok negeri.

Pendekar Katung juga memiliki seorang adik perempuan yang cantik jelita bernama Suri. Sebenarnya, Suri bukanlah adik kandungnya, tapi ia adalah anak dari seorang penyabung yang sudah meninggal, karena mempertaruhkan nyawanya dengan Pendekar Katung. Ayah Suri dibunuh oleh pengawal Pendekar Katung di tengah hutan Serimba. Suri yang masih bayi saat itu kemudian diasuh oleh Pendekar Katung hingga menjadi seorang gadis cantik jelita.

Pada suatu ketika, seorang pengembara muda datang ke Pantai Solop. Kedatangannya ke pantai itu hendak menuntut ilmu. Ia pernah mendengar bahwa di pantai itu ada seorang guru sejati yang tidak memiliki murid dan tengah mencari murid yang setia untuk mewariskan ilmunya, karena sebentar lagi akan menghadap kepada Yang Kuasa.

Sesampainya di Pantai Solop, pengembara muda itu kebingungan, karena tidak seorang pun yang ditemuinya. Ia hanya menyaksikan pantai pasir putih yang begitu indah dan deburan ombak yang memecah suasana sunyi.

”Kenapa tidak ada siapa-siapa di tempat ini? Di mana sang Guru itu?” tanya Pengembara Muda itu dalam hati.

Setelah melayangkan pandangan ke sekelilingnya, orang yang dicarinya tidak juga ditemukan. Akhirnya, untuk menghilangkan rasa letih setelah berjalan cukup jauh, ia pun duduk di bawah sebuah pohon di pantai itu sambil menikmati siliran angin laut dan menyaksikan gulungan ombak sedang berkejar-kejaran.

Di tengah menikmati pemandangan yang indah itu, tiba-tiba dari kejauhan tampak seseorang menuju ke arahnya. Mulanya ia mengira bahwa sosok itu hanyalah sebuah bayangan. Namun, setelah orang itu mulai mendekat hatinya pun mulai lega.

“Mmm, berarti memang ada kehidupan di tempat ini,” gumam Pengembara Muda itu.

“Apakah dia itu sang Guru yang sedang saya cari?” tanyanya dalam hati.

Ketika orang itu betul-betul berada di dekatnya, tiba-tiba keraguan bercampur rasa kagum menyelimuti hatinya. Ternyata orang yang menghampirinya itu adalah seorang gadis cantik jelita nan elok rupawan.

“Amboi, cantik sekali gadis ini! Jangan-jangan ia seorang bidadari yang turun dari kayangan,” pikirnya dalam hati.

Laksana tersihir, Pengembara Muda itu diam tidak bergerak, saat gadis itu menyapanya dengan lemah lembut.

“Abang mau ke mana? Sepertinya Abang bukan orang daerah ini?”

Pengembara itu masih tetap diam menatap gadis itu tanpa berkedip sedikit pun. Keraguan kembali menyelimuti hatinya. Ia berpikir, jangan-jangan gadis itu adalah hantu jambangan yang hendak mengganggunya. Mustahil seorang gadis cantik tinggal sendirian di tempat yang sunyi itu.

”Kenapa Abang menatapku seperti itu? Abang tidak usah takut. Saya juga manusia seperti Abang,” ujarnya meyakinkan Pengembara Muda itu.

”Benarkah? Tapi, kenapa kamu ada di tempat ini seorang diri?” Pengembara Muda itu balik bertanya berusaha menghilangkan keraguannya.
”Benar, Bang! Nama saya Suri. Saya tinggal di balik hutan sebelah sana. Kampung kami di sana,” jelas gadis yang menyebut namanya Suri itu.

Mendengar penjelasan Suri, keraguan Pengembara Muda itu pun mulai hilang. Namun, matanya tidak berkedip terus menatap Suri.

”Sudahlah, Bang! Janganlah menatapku seperti itu, saya jadi takut!” seru Gadis itu.

”Maaf, Abang hanya kagum melihat kecantikan, Dik Suri. Secantik-cantik gadis di negeri Abang, tidak seorang gadis pun yang dapat menyamai kecantikan, Dik Suri!” puji Pengembara Muda itu.

”Ah, Abang! Suri jadi malu,” kata Suri sambil tersenyum malu.

”Benar, Dik! Abang benar-benar kagum dengan keelokan wajahmu dan kelembutan tutur sapamu,” puji Pengembara itu mencoba untuk mencuri hati sang Gadis.

”O iya, nama saya Bujang Kelana,” sambung Pengembara Muda itu sambil memperkenalkan namanya.

”Kalau boleh tahu, Abang dari mana dan apa maksud kedatangan Abang ke tempat ini?” tanya Suri ingin tahu.

”Abang ini seorang pengembara hendak berguru di tempat ini. Kabar yang tersiar di negeri Abang, di tempat ini ada seorang guru yang alim sedang mencari murid untuk mewariskan ilmunya. Apakah Adik mengetahui guru itu?” Bujang Kelana balik bertanya.

”Iya, memang di tempat ini ada seorang guru terkenal yang bernama Tuk Solop. Namun, sejak murid-muridnya pindah berguru kepada Pendekar Katung, ia pun pergi entah ke mana,” jelas Suri.

”Pendekar Katung? Rasanya Abang pernah mendengar nama itu. Apakah adik juga mengenalnya?” tanya Bujang Kelana penasaran.

Mendengar pertanyaan itu, gadis cantik langsung pergi tanpa memberikan jawaban sedikit pun. Sepertinya ia sedang menyembunyikan sesuatu.

”Suri....! Kenapa kamu pergi?” teriak Bujang Kelana.

”Kembalilah, Abang belum selesai bicara!” teriaknya lagi.

”Kalau Abang mau bicara denganku, tunggu aku besok pagi di tempat ini,” jawab Suri sambil berlari pergi meninggalkan tempat itu.

Bujang Kelana sangat heran dan terdiam. Kenapa saat menyebut nama Pendekar Katung, tiba-tiba ia pergi begitu saja. ”Ada apa gerangan dengan Suri? Apa aku telah menyinggung perasaannya?” pikirnya dalam hati sambil melayangkan pandangannya ke arah Suri yang berlari menuju ke hutan.

Setelah Suri menghilang di balik pepohonan, Bujang Kelana pun berniat pergi. Namun, ketika hendak beranjak, tiba-tiba seorang laki-laki buta sedang memegang tongkat keluar dari balik semak-semak sambil berjalan tertatih-tatih menghampirinya. Bujang Kelana pun mulai takut.

”Hai, Anak Muda! Kamu tidak usah takut. Aku telah mendengar semua pembicaraan kalian. Perlu kamu ketahui, gadis cantik itu adalah adik Pendekar Katung,” ujar Datuk Buta itu.

”Tapi, kenapa dia pergi saat saya menyebut nama Abangnya itu?” tanya Bujang Kelana penasaran.

”Pendekar Katung adalah pemuda yang gagah berani dan sakti. Tapi sayang, ia tidak menggunakan ilmu kesaktiannya untuk kebajikan. Ia seorang pendekar aliran ilmu hitam. Kesaktiannya ia gunakan untuk menyiksa orang lain. Selain itu, ia juga sangat gemar menyabung ayam. Apa pun ia jadikan sebagai taruhan. Jangankan harta, nyawanya sekali pun ia pertaruhkan,” jelas Datuk Buta itu.

”O, iya, Anak Muda! Kamu siapa dan kenapa datang ke tempat ini?” Datuk Buta itu balik bertanya kepada Bujang Kelana.

”Kedatangan saya ke tempat ini hendak berguru kepada Tuk Solop,” jawab Bujang Kelana.

”Ooo... begitu!” sahut Datuk Buta sambil mengangguk-anggukkan kepala.

”Apakah Datuk mengetahui keberadaannya?” tanya Bujang Kelana.

”Tuk Solop sudah lama meninggalkan tempat ini. Saya juga tidak tahu ke mana perginya. Ia pergi karena tidak ada lagi yang mau berguru kepadanya. Orang-orang benci kepadanya, karena dipengaruhi oleh Pendekar Katung. Sebenarnya, ia sudah lama mencari seorang murid yang setia untuk mewariskan ilmunya, namun tidak seorang pun yang bersedia. Akhirnya, ia pun pergi entah ke mana,” jelas Datuk Buat itu.

Usai memberikan penjelasan kepada Bujang Kelana, Datuk Buta itu bergegas mohon diri, karena dari kejauhan ia merasakan seseorang sedang menuju ke arah mereka melalui indra keenamnya. Bujang Kelana pun semakin heran.

”Kenapa orang-orang yang saya temui di tempat ini semuanya tergesa-gesa pergi? Aneh, sungguh aneh!” gumam Bujang Kelana penuh rasa heran.

Benar firasat Datuk Buta itu, beberapa saat kemudian, Suri tampak berlari menuju arah Bujang Kelana.

”Bang! Tolong Suri, Bang!” seru Suri tergesa-gesa dengan nafas yang masih tersengau-sengau.

”Apa yang terjadi denganmu, Suri? Bukankah Suri besok pagi baru kembali ke mari?” tanya Bujang Kelana penasaran.

”Pendekar Katung hendak menikahiku,” jawab Suri sambil menoleh ke belakang, karena takut Pendekar Katung menyusulnya.

”Kenapa bisa? Bukankah dia itu Abangmu?” tanya lagi Bujang Kelana.

”Sudahlah, Bang! Jangan banyak tanya dulu! Ayo kita pergi dari sini!” ajak Suri sambil menarik tangan Bujang Kelana.

Bujang Kelana tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali menuruti kemauan Suri. Setelah merasa aman dari kejaran Pendekar Katung, Suri pun menceritakan perihal dirinya bahwa sebenarnya ia bukanlah adik kandung Pendekar Katung. Ibunya telah meninggal semasa Suri masih kecil. Sejak itu Suri hidup bersama ayahnya. Namun, ayahnya dipengaruhi oleh Pendekar Katung untuk menggelar sabung ayam. Ayahnya selalu kalah taruhan dalam gelar sabung ayam. Akhirnya, ayahnya bangkrut. Rumah sebagai harta mereka satu-satunya juga melayang, karena kalah taruhan. Oleh karena tidak lagi memiliki harta yang bisa dipertaruhkan, akhirnya ayahnya nekad mempertaruhkan nyawanya. Namun, malang nasib ayahnya, ayam jagonya kalah dan mati di tengah gelanggang. Ayahnya pun disiksa dan dibunuh, lalu dibuang ke tengah hutan. Sejak itu, Suri diasuh oleh Pendekar Katung hingga dewasa seperti sekarang ini.

”Abang ikut prihatin atas musibah yang menimpa ayahmu, Suri!” kata Bujang Kelana dengan perasaan haru setelah mendengar cerita Suri.

Dalam suasana haru itu, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kehadiran Datuk Buta di hadapan mereka.

”Eh, Datuk! Kenapa Datuk masih di sini? Bukankah tadi Datuk sudah pergi?” tanya Bujang Kelana terkejut.

”Aku tidak pergi. Aku bersembunyi di balik semak-semak itu,” jawab Datuk Buta itu.

”Kalau benar yang diceritakan Suri itu, berarti aku adalah ayahnya,” lanjutnya.

”Apa maksud, Datuk?” tanya Suri terkejut seolah-olah tidak percaya.

”Benar, Suri! Aku adalah ayahmu. Dulu namamu adalah Intan. Namun rupanya Pendekar Katung yang bejat itu telah mengganti namamu. Tapi, tak apalah, Nak! Karena semua orang lebih mengenalmu Suri daripada Intan. Mulai sekarang namamu Intan Suri,” jelas Datuk Buta itu.

”Tapi, kenapa Datuk masih hidup? Bukankah Datuk telah dibunuh Pendekar Katung?” tanya Suri penasaran.

”Panjang ceritanya, Nak! Nanti Ayah ceritakan semua setelah Pendekar Katung yang biadab itu mati,” jawab Datuk Buta.

Suri pun merasa yakin, kalau Datuk Buta itu adalah ayahnya. Ia pun segera memeluknya. Sang Ayah pun membalas pelukan putrinya yang sudah lama ia rindukan.

”Maafkan Ayah, Nak! Ayah sangat menyesal, karena membuat hidupmu sengsara,” kata Datuk Buta itu sambil meneteskan air mata.

”Tidak apa-apa, Ayah! Yang penting sekarang kita sudah berkumpul kembali,” jawab Suri yang kini memanggil Ayah kepada Datuk Buta itu.

”Baiklah, Nak! Sekarang mari kita mengatur siasat bagaimana cara menyingkirkan Pendekar Katung dari muka bumi ini!” seru Ayah Suri.

”Tapi, Ayah! Pendekar Katung itu sangat sakti. Ia kebal terhadap segala senjata tajam,” kata Suri dengan perasaan khawatir.

”Tidak perlu khawatir, Nak! Ayah tahu kelemahannya,” jawab Ayahnya dengan penuh keyakinan.

Suri dan Ayahnya serta Bujang Kelana pun bermusyawarah untuk mengatur siasat bagaimana membinasakan Pendekar Katung. Pertama-tama mereka bermufakat untuk mengganti ayam jago Pendekar Katung dengan ayam milik Ayah Suri yang mirip sekali dengan ayam jago Pendekar Katung. Setelah itu, mereka akan menantang Pendekar Katung untuk menggelar sabung ayam yang diwakili oleh Bujang Kelana. Kini penantang Pendekar Katung bukan lagi penduduk Negeri Serimba, melainkan seorang pemuda dari sebuah negeri nun jauh di sana. Pelaksanaan pagelaran akbar itu pun diumumkan di berbagai tempat. Seluruh penduduk Serimba maupun negeri-negeri di sekitarnya sudah mengetahui pagelaran akbar itu.

Pagelaran akbar yang ditunggu-tunggu oleh khalayak ramai pun tiba. Seluruh penduduk Negeri Serimba dan negeri-negeri sekitarnya telah berkumpul ingin menyaksikan pertarungan yang mendebarkan itu. Beberapa saat kemudian, pertarungan pun dimulai. Tampak Tim Yuri duduk di pinggir lapangan menyaksikan dengan seksama untuk memberikan penilaian.

Pada awalnya, pertandingan itu tampak seimbang. Ayam jago Pendekar Katung yang sebetulnya hanyalah ayam jago biasa mampu memberikan perlawanan. Namun, karena ayam jago Bujang Kelana adalah ayam jago Pendekar Katung yang terkenal ganas dan gesit itu, maka hanya dalam hitungan menit saja, ayam jago Pendekar Katung mulai terdesak dan akhirnya mati tidak berdaya.

Pendekar Katung yang menyaksikan pertarungan itu sangat terkejut melihat kejadian itu. Ia sangat malu, karena yang menyaksikan pertarungan tersebut tidak hanya penduduk Negeri Serimba, tetapi juga dari negeri-negeri lain.

”Ah, mustahil ayam jagoku mati!” seru Pendekar Katung mulai kesal.

Oleh karena tidak terima ayam jagonya kalah, Pendekar Katung mulai naik pitam. Ia pun segera memerintahkan beberapa pengawal setianya untuk mengusir Bujang Kelana. Mengetahui dirinya terancam, Bujang Kelana pun segera melarikan diri ke Pantai Solop untuk menemui Datuk Buta dan Suri yang sengaja tidak hadir menyaksikan pertarungan itu.

”Pengawal! Ayo kita kejar pemuda brengsek itu!” perintah Pendekar Katung.

Pendekar Katung beserta puluhan pengawalnya mengejar Bujang Kelana sampai ke Pantai Solop. Di pantai berpasir putih itu Bujang Kelana terdesak. Belum sempat menemui Datuk Buta, tiba-tiba ia sudah diserang oleh beberapa pengawal Pendekar Katung. Bujang Kelana pun tidak mau mengalah begitu saja. Pantang menyerah sebelum ajal tiba, tekadnya.

Bujang Kelana melakukan perlawanan dengan segala kemampuan yang dimiliki. Awalnya, ia mampu menghindari serangan yang datang bertubi-tubi kepadanya. Namun, karena dikeroyok oleh beberapa orang, ia pun mulai terdesak. Tidak dapat dielakkan lagi, seorang pengawal Pendekar Katung menusukkan tombaknya. Untung tombak itu hanya mengoyak paha Bujang Kelana.

Pada saat yang bersamaan, dengan secepat kilat, Datuk Buta melompat dari balik semak-semak langsung mencekik leher Pendekar Katung dari belakang. Pendekar Katung pun meronta-ronta dan berusaha untuk melepaskan diri. Namun, cekikan Datuk Buta sangat kuat, sehingga ia tidak dapat bergerak.

”Bujang Kelana! Cepat tusukkan senjatamu ke perut Pendekar Katung!” teriak Datuk Buta.

Bujang Kelana tidak dapat langsung menusukkan senjatanya kepada Pendekar Katung, karena ia masih kewalahan menahan serangan dari para pengawal Pendekar Katung yang datang bertubi-tubi.

”Cepat, Kelana! Tubuh Pendekar Katung akan tembus ditusuk senjata jika ia dipeluk oleh orang buta,” teriak lagi Datuk Buta.

Mengetahui kelemahan Pendekar Katung itu, Bujang Kelana segera mengadakan perlawanan. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, ia berbalik menyerang. Setelah para pengawal Pendekar Katung terdesak, dan bahkan sebagian lari tunggang-langgang menuju ke semak-belukar, dengan secepat kilat Bujang Kelana segera menusukkan senjatanya bertubi-tubi ke bagian perut dan dada Pendekar Katung. Seketika itu pula, Pendekar Katung langsung lemas tidak berdaya. Datuk Buta pun segera menghempaskan tubuh Pendekar Katung ke atas pasir.

”Hei, Katung! Kamu tahu siapa aku. Aku adalah Ayah Suri yang pernah kamu bunuh dan buang di tengah hutan. Tapi karena umurku masih dipanjangkan oleh Yang Kuasa, aku masih bisa hidup hingga sekarang,” ujar Datuk Buta.

”Gurumulah yang telah menyelamatkanku. Beliau juga yang telah memberitahukan kepadaku tentang kelemahanmu,” tambah Datuk Buta.

Pendekar Katung yang sudah sekarat itu tidak dapat memberikan jawaban sedikit pun. Beberapa saat kemudian, Pendekar Katung pun mengembuskan nafas terakhirnya. Melihat tuannya mati, beberapa pengawalnya yang masih tersisa langsung melarikan diri.

”Terima kasih, Kelana, karena telah membantuku menyingkirkan Pendekar Katung. Mari kita temui Intan Suri!” ajak Datuk Buta.

Namun, baru akan beranjak dari tempat mereka, tiba-tiba Intan Suri keluar dari balik semak-semak dengan berlumuran darah.

”Suri, apa yang terjadi denganmu?” tanya Bujang Kelana panik.

”Seorang pengawal Pendekar Katung mengetahui tempat persembunyianku di balik semak-semak itu. Ia hendak membunuhku, karena mengetahui aku yang telah menukar ayam jago tuannya,” jelas Suri dengan nada lemas.

”Bang Bujang! Maafkan Suri, Bang! Suri mencintai Abang, tapi mungkin kita tidak ditakdirkan hidup bersama,” sambung Suri meneteskan air mata.

”Jangan berkata begitu, Dik! Kita pasti akan hidup bersama, karena Abang juga sangat mencintai Adik,” ungkap Bujang Kelana dengan sedih.

”Bang, tolong jaga negeri dan penduduk Serimba serta Pantai Solop ini agar tetap aman dan damai,” pesan Suri terbatuk-batuk.

Beberapa saat kemudian, denyut nadi Intan Suri berhenti berdetak. Rupanya pesan itu merupakan pesan terakhir Intan Suri sebelum mengembuskan nafas terakhirnya. Mengetahui kekasihnya telah meninggal dunia, Bujang Kelana berteriak dengan sekeras-kerasnya.

”Intan Suriiiiiii.....!!!”

Usai berteriak, Bujang Kelana terdiam kaku dengan air mata berlinang memandang wajah kekasihnya yang cantik jelita itu.

”Sudahlah, Nak Kelana! Aku juga sangat sedih ditinggal oleh putri semata wayangku. Aku merasa sangat berdosa, karena tidak dapat menjaganya dengan baik,” ucap Datuk Buta dengan penuh penyesalan.

”Sebaiknya jenazah Intan Suri kita bawa ke pondokku yang berada di di tengah hutan ini!” ujar Datuk Buta.

Usai menyiapkan segala sesuatunya, mereka pun segera menguburkan jenazah Intan Suri di dekat pondok Datuk Buta.

”Datuk! Kelana juga akan pergi dari negeri ini sebagaimana Intan Suri telah pergi untuk selama-lamanya,” ujar Bujang Kelana kepada Datuk Buta.

Setelah berkata begitu, Bujang Kelana mengambil sangkar ayam yang terletak di samping pondok Datuk Buta. Kemudian ia bergegas menuju ke Pantai Solop. Sesampai di pantai, dengan sekuat tenaga ia melemparkan sangkar ayam itu ke tengah laut.

”Aku bersumpah, walaupun sangkar ayam itu akan menjadi pulau, aku tidak akan kembali ke negeri ini!” teriak Bujang Kelana bersumpah.

Setelah itu, Bujang Kelana pun meninggalkan Pantai Solop yang indah itu. Ia pergi berkelana mengikuti ke mana kakinya melangkah tanpa arah dan tujuan. Ia tidak ingin tinggal di Pantai Solop, karena takut teringat dengan kekasihnya yang telah pergi untuk selama-lamanya.

Konon, setelah bertahun-tahun Bujang Kelana meninggalkan Pantai Solop, sangkar ayam yang dilemparkan ke tengah laut itu benar-benar menjelma menjadi sebuah pulau. Pulau itu berada tepat berhadapan dengan Pantai Solop. Oleh masyarakat setempat, pulau itu mereka beri nama Pulau Sangkar Ayam.

* * *

Demikian cerita Asal Mula Pulau Sangkar Ayam dari Indrigiri Hilir, Riau, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang terkandung di dalam cerita di atas, yaitu keburukan dari sifat angkuh dan keutamaan sifat suka bekerja sama. Pertama, sifat angkuh tercermin pada sikap dan perilaku Pendekar Katung yang suka berbuat semena-mena kepada penduduk di sekitar, karena merasa dialah yang paling sakti. Akibatnya, ia pun meninggal di tangan Bujang Kelana dan Datuk Buta. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran, bahwa kesaktian dan ketinggian ilmu dapat menyebabkan seseorang menjadi sombong, angkuh, dan takabbur. Sifat ini tidak patut untuk dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

kalau dipakai sifat sombong,

alamat perut akan mengembung

Kedua, sifat suka bekerja sama. Kerja sama yang dimaksud di sini adalah kerja sama dalam kebajikan. Hal ini tercermin pada sikap dan perilaku Bujang Kelana dan Datuk Buta untuk menumpas kejahatan dengan membinasakan Pendekar Katung yang sombong dan angkuh itu. Terkait dengan kedua sifat tersebut, dalam tunjuk ajar Melayu dikatakan:

apa orang bersaudara,

tenggang menenggang jaga menjaga

menenggang buruk dengan baik

menenggang salah dengan benar

menenggang batil dengan hak

menenggang jahat dengan manfaat

menenggang keji dengan budi

Asal Mula Pulau Sangkar Ayam
Riau - Indonesia

Mak Isun Kayo


Mak Isun Kayo
Sumatra Barat - Indonesia

Payakumbuh adalah nama sebuah kota madya di Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Di wilayah ini terdapat sebuah negeri yang disebut dengan Batang Tabik. Konon, di negeri ini pernah ada seorang juragan bendi dan beruk[1] yang bernama Mak Isun. Pada suatu hari, kawanan beruk miliknya mengepung rumahnya. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Mak Isun, sehingga rumahnya dikepung oleh kawanan beruk itu? Kisah menarik ini dapat Anda ikuti dalam cerita Mak Isun Kayo berikut ini.

* * *

Alkisah, di Negeri Batang Tabik, Payakumbuh, Sumatra Barat, hiduplah seorang lelaki paruh baya bernama Mak Isun. Ketika masih muda, ia bekerja sebagai kusir bendi pada orang kaya di negeri itu. Ia seorang kusir yang rajin dan tekun. Bendinya selalu bersih dan kudanya terpelihara dengan baik, sehingga ia disukai oleh juragannya dan orang-orang pun senang menumpang bendinya.

Selain rajin dan tekun, Mak Isun juga hemat dan rajin menabung. Sebagian upah dari hasil menarik bendi ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan selebihnya ditabung. Setelah berjalan beberapa tahun, uang tabungannya pun cukup banyak. Ketika juragannya meninggal dunia, ia gunakan tabungannya untuk membeli kuda dan bendi itu dari keluarga juragannya.

Semenjak menjadi pemilik bendi, uang sewa yang biasanya disetorkan kepada juragannya, ia masukkan ke dalam tabungannya. Dalam waktu dua tahun, uang tabungannya sudah cukup untuk membeli lagi satu bendi beserta kudanya. Kemudian bendi tersebut ia sewakan kepada orang lain.

Waktu terus berjalan, Mak Isun tetap giat menabung dan terus membeli kuda beserta bendinya hingga akhirnya ia memiliki delapan buah bendi berikut kudanya. Bendi yang pertama kali dibelinya, tetap dia yang mengemudikannya, sedangkan tujuh buah bendi lainnya ia sewakan kepada orang lain. Semakin hari penghasilan Mak Isun semakin banyak, sehingga ia pun terkenal sebagai juragan bendi yang kaya. Sejak itu, namanya dikenal sebagai Mak Isun Kayo.

Walaupun sudah menjadi kaya, cara hidup Mak Isun tetap tidak berubah. Ia tetap hemat dan rajin merawat kuda dan bendinya. Setiap ada kerusakan segera diperbaiki dan diperbaharui. Ia senantiasa mengajarkan hal itu kepada semua kusirnya. Ia berpendirian bahwa kuda yang kuat dan bendi yang bersih akan disukai oleh penumpang. Oleh karena itu, ia mewajibkan para kusirnya untuk memberi makan dan memandikan kudanya setiap hari. Demikian pula, mereka harus mencuci dan membersihkan bendi setiap selesai dipakai.

Pada suatu sore, Mak Isun sedang duduk-duduk di teras rumahnya sambil memerhatikan para kusir bendi sedang memandikan kuda dan membersihkan bendi. Saat itu, tiba-tiba sesuatu terlintas di dalam pikirannya.

”Aku harus mencari pekerjaan lain yang dapat menghasilkan uang untuk menambah kekayaanku. Tapi pekerjaan apa ya?” tanyanya dalam hati.

Sesaat kemudian, tiba-tiba seorang warga yang bernama Pak Sole dengan seekor beruknya melintas di depan rumahnya. Pak Sole adalah seorang ”tukang beruk”. Ia menerima upah dengan cara memerintahkan seekor beruk memetik kelapa di kebun kelapa penduduk sekitar.

”Pak Sole...!” teriak Mak Isun memanggil Pak Sole.

”Iya, Tuan!” jawab Pak Sole sambil menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya.

“Kemari sebentar!” seru Mak Isun.

Dengan hati bertanya-tanya, Pak Sole segera menghampiri Mak Isun.

”Ada apa, Tuan!” tanya Pak Sole penasaran.

”Silahkan duduk, Pak Sole!” kata Mak Isun.

”Terima kasih, Tuan!” jawab Pak Sole sambil memegangi beruknya.

” Pak Sole, berapa upahmu menjadi tukang beruk?” tanya Mak Isun.

”Tidak tentu, Tuan! Tergantung jarak kebun kelapa yang akan dipetik buah kelapanya. Jika dekat, saya mendapat upah tiga butir kelapa, dan jika jauh upahnya lima butir,” jelas Pak Sole.

”Berapa penghasilanmu sehari?” tanya Mak Isun.

”Jika dirata-rata, sehari saya memperoleh sekitar dua puluh lima butir kelapa,” jawab Pak Sole.

”Wah, lumayan juga penghasilanmu,” kata Mak Isun.

”Tapi, Tuan!”

”Kenapa, Pak Sole,” tanya Mak Isun penasaran.

”Saya tidak tahu masih dapat menjadi tukang beruk atau tidak, karena majikan saya hendak menjual semua beruknya untuk ongkos naik haji,” jelas Pak Sole.

”Siapa yang akan membelinya?” tanya Mak Isun.

”Belum tahu, Tuan!” jawab Pak Sole.

”Siapa nama majikanmu?” tanya Mak Isun.

”Pak Kari, Tuan!” jawab Pak Sole.

‘Kalau begitu, sampaikan kepada Pak Kari bahwa aku yang akan membeli semua beruknya,” ungkap Mak Isun.

”Baik, Tuan! Nanti malam saya akan pergi menemuinya,” kata Pak Sole seraya berpamitan.

Pada malam harinya, Pak Sole ke rumah majikannya untuk menyampaikan niat Mak Isun. Pak Kari pun setuju. Akhirnya, Mak Isun membeli semua beruk Pak Kari dan kemudian menyewakannya kepada orang lain, termasuk Pak Sole. Selain mendapat keuntungan sewa beruk, Mak Isun juga mewajibkan kepada semua penyewa beruknya untuk menjual upah mereka kepadanya dengan harga murah, sehingga ia pun mendapat keuntungan yang banyak. Untuk memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, Mak Isun tidak menjual kelapa itu, melainkan menjualnya dalam wujud kopra (daging kelapa yang sudah dikeringkan). Lambat laun, ia tidak hanya terkenal sebagai juragan bendi dan beruk, tapi sebagai pedagang kopra.

Pada suatu waktu, harga kopra melonjak tinggi. Mengetahui hal itu, Mak Isun berubah pikiran hendak menaikkan upah sewa beruknya. Ia menyadari bahwa dialah satu-satunya pemilik beruk di negeri itu yang hampir semua penduduknya memiliki kebun kelapa. Oleh karena itu, ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia pun segera mengumpulkan semua tukang beruknya di rumahnya.

”Mulai besok, upah sewa beruk kita naikkan dua kali lipat. Jika jarak kebunnya dekat, upahnya menjadi enam butir kelapa, dan jika jaraknya jauh upahnya menjadi sepuluh butir,” ujar Mak Isun kepada para tukang beruk.

”Maaf, Tuan! Apakah itu tidak memberatkan penduduk?” tanya Pak Sole.

”Benar, Tuan! Tidak mungkin mereka mau membayar upah sebesar itu. Upah sewa beruk yang kami berlakukan selama ini pun masih ada penduduk yang merasa keberatan” tambah seorang tukang beruk yang lain.

”Kalau mereka tidak mau, biarkan saja kelapa mereka tua di pohon,” jawab Mak Isun dengan ketus.

”Tapi, Tuan! Kalau tidak memetik kelapa, kami mau makan apa? Padahal hanya itu harapan hidup kami!” kata seorang tukang beruk beriba.

”Dasar kalian semua orang bodoh! Jika kita menaikkan upah sewa beruk, pasti semua penduduk akan terpaksa menerimanya. Kalian sudah tahu bahwa tidak seorang pun penduduk yang pandai memanjat pohon kelapa secepat beruk itu. Lagi pula, mereka tidak akan rugi karena kebun kelapa itu adalah warisan dari orang tua mereka,” jelas Mak Isun dengan nada kesal.

Para tukang beruknya tidak setuju dengan keputusan Mak Isun, karena mereka merasa kasihan kepada penduduk. Namun, Mak Isun tidak mau tahu mengenai masalah itu. Ia tetap teguh pada pendiriannya hendak menaikkan upah sewa beruk. Para tukang beruk itu pun menjadi kesal dengan sikap Mak Isun. Dengan perasaan kecewa, seluruh tukang beruk kembali ke rumah masing-masing. Pada malam harinya, mereka bermusyawarah untuk mencari cara agar Mak Isun mau membatalkan niatnya itu. Dalam pertemuan itu, mereka bersepakat untuk menakut-nakuti Mak Isun dengan cara menyuruh beruk-beruk itu mengepung rumahnya.

Keesokan paginya, saat membuka jendela rumahnya, Mak Isun dikejutkan dengan seekor beruk yang menyeringainya.[2] Dengan perasaan panik, ia pun segera membuka pintu depan. Namun, saat pintu terbuka, ia disambut dengan cibiran dan seringai beruk yang lain. Mak Isun berlari menuju pintu belakang, namun dua ekor beruk sudah menunggunya. Kemudian berlari menuju ke jendela yang lain, juga dihadang oleh beruk. Rumah Mak Isun benar-benar dikepung oleh belasan beruk, sehingga ia tidak bisa keluar.

”Tolong... !!! Tolong... !!! Singkirkan beruk-beruk itu dari rumahku!” teriak Mak Isun meminta tolong.

Mendengar suara teriakan itu, para penduduk berkumpul di halaman rumahnya hendak menyaksikan peristiwa itu. Namun, tidak seorang pun penduduk yang berani menolongnya, termasuk para kusir bendinya.

Sementara itu, Mak Isun yang berada di dalam rumah itu semakin panik.

“Jika sampai berhari-hari beruk-beruk itu mengepung rumah ini dan tidak diberi makan, apa jadinya kelak? Mereka pasti mengobrak-abrik rumahku, atau... jangan-jangan aku yang menjadi sasaran mangsa mereka, karena kelaparan,” pikir Mak Isun.

Akhirnya, Mak Isun menyadari bahwa ia tidak boleh memaksakan kehendaknya. Ia pun mengakui kesalahannya dan berjanji untuk tidak menaikkan sewa beruk kepada penduduk.

* * *

Demikian cerita Mak Isun Kayo dari Payakumbuh, Sumatra Barat, Indonesia. Hingga kini, peristiwa itu masih menjadi bahan cerita masyarakat Payakumbuh, Sumatra Barat. Mereka terkadang tertawa geli mendengar kisah Mak Isun yang kaya itu dicibir dan diseringai oleh beruknya sendiri. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dari cerita di atas, setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik, yaitu sifat rajin menabung dan sifat serakah.

Pertama, sifat rajin menabung. Sifat ini tercermin pada sikap Mak Isun yang pandai mengatur masalah keuangannya, yaitu sebagian upah yang diperoleh dari hasil kerjanya dimasukkan ke dalam tabungannya. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa setiap kita mendapat rezeki hendaknya sebagian disisihkan untuk ditabung.

Kedua, sifat serakah atau tamak. Sifat ini juga tercermin pada sikap Mak Isun. Pada mulanya, Mak Isun adalah orang kaya yang dihormati. Namun, karena keserakahannya terhadap harta, ia pun dibenci oleh penduduk sekitar. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa harta dapat menjatuhkan marwah seseorang. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:

apa tanda orang tamak,
karena harta marwah tercampak

Mak Isun Kayo
Sumatra Barat - Indonesia

Asal Mula Nagari Koto Nan Ampek dan Koto Nan Gadang


Asal Mula Nagari Koto Nan Ampek dan Koto Nan Gadang
Sumatra Barat - Indonesia

Negeri Koto Nan Ampek adalah sebuah daerah yang terletak di Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Konon, daerah yang subur ini dulunya merupakan kawasan hutan lebat. Oleh masyarakat sekitar, kawasan ini dijadikan permukiman dan diberi nama Nagari Koto Nan Ampek dan Koto nan Gadang. Mengapa daerah tersebut diberi nama Nagari Koto Nan Ampek dan Koto nan Gadang? Temukan jawabannya dalam cerita Asal Mula Negeri Koto Nan Ampek berikut ini!

* * *

Alkisah, di sebuah nagari di daerah Minangkabau, Sumatra Barat, ada sebuah kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana. Diberi gelar demikian karena ia seorang raja yang sungguh arif dan bijaksana. Ia senantiasa menjalankan segala kewajibannya sebagai seorang raja dan memberikan segala sesuatu yang menjadi hak rakyatnya. Rakyat negeri ini senantiasa hidup aman, tentram dan makmur. Betapa tidak, selain memiliki raja yang arif dan bijaksana, mereka juga memiliki tanah yang luas dan berbagai jenis tanaman yang tumbuh dengan subur. Hasil buminya sangat melimpah. Ternak-ternak seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing dapat merumput dengan leluasa sehingga tumbuh sehat dan besar-besar. Ternak-ternak tersebut mereka jual ke negeri-negeri sekitarnya dengan harga yang cukup mahal.

Keadaan nagari yang aman dan sejahtera tersebut membuat rakyat selalu patuh, hormat, dan menjunjung tinggi kewibawaan Baginda Mulia. Segala titah raja mereka laksanakan dengan penuh tanggungjawab. Mereka juga senantiasa menjaga kekayaan dan tanah negeri yang luas dan subur itu.

Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana mempunyai seorang permaisuri yang cantik jelita, dan tiga orang putri yang masih kecil. Di sela kesibukannya mengurus kerajaan, Baginda Mulia selalu meluangkan waktu dengan mengajak keluarganya keluar istana untuk melihat pemandangan dan kekayaan alam yang dimiliki negeri mereka. Bahkan, Baginda Mulia sering mengajak putri sulungnya berkunjung ke kerajaan-kerajaan tetangga dan berjalan-jalan ke pelosok desa untuk melihat kondisi kehidupan sehari-hari rakyatnya. Dengan demikian, Putri Sulung banyak tahu tentang masalah-masalah yang sering dihadapi oleh kerajaan.

Waktu terus berjalan. Ketiga putri Baginda Mulia tumbuh menjadi gadis-gadis yang cantik dan cerdas. Terutama Putri Sulung, ia seorang gadis yang sudah mulai berpikiran dewasa. Ia sering dimintai pandangan oleh ayahnya, karena selalu bersikap sabar dan tenang dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi kerajaan.

Pada suatu sore, sang Permaisuri melihat Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana sedang duduk sendirian di serambi istana.

“Apa yang sedang Kanda pikirkan? Ada yang bisa Dinda bantu?” tanya sang Permaisuri.

“Iya, Dinda! Kanda sedang memikirkan putri kita yang sulung. Di antara ketiga putri kita, dialah yang tampak lebih dewasa dan bijaksana dalam berpikir. Ia juga banyak mengerti mengenai persoalan kerajaan ini,” jawab Baginda Mulia.

“Lalu, ada apa dengannya, Kanda?” tanya Permaisuri tidak mengerti.

“Begini, Dinda! Kanda rasa sudah waktunya ia menikah. Untuk itu, Kanda bermaksud untuk mencarikan jodoh yang sepadan dengannya. Kanda berharap agar menantu dan putri kita dapat menggantikan kedudukan Kanda kelak,” jelas Baginda Mulia.

“Benar, Kanda! Ia juga sabar, tidak sombong dan rendah hati. Dinda juga berharap kerajaan ini kelak dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana seperti Kanda,” tambah Permaisuri.

“Tapi, apakah Kanda sudah mempunyai pilihan untuknya?” tanya Permaisuri ingin tahu.

“Belum, Dinda,” jawab Baginda Mulia.

“Lalu, apa rencana Kanda?” Permaisuri kembali bertanya.

“Kanda bermaksud memancang gelanggang di depan istana. Siapa pun yang menang dalam gelanggang itu, dialah yang akan menjadi menantu kita dan pastinya ia adalah seorang pemuda yang sepadan dengan putri kita,” jelas Baginda Mulia.

Mendengar penjelasan itu, sang Permaisuri pun setuju. Keesokan harinya, Baginda Mulia memanggil Putri Sulung.

“Ampun, Ayahanda! Ada apakah gerangan Ayahanda dan Ibunda memanggil Putri?” tanya Putri Sulung penasaran.

“Begini, Putriku! Kini engkau telah dewasa. Ayah dan Bundamu bermaksud mencarikan jodoh yang sepadan untukmu. Kami berharap engkau dan suamimu kelak dapat menggantikan Ayahandamu untuk memimpin kerajaan ini,” jawab Baginda Mulia.

Mendengar jawaban itu, Putri Sulung pun terdiam sambil menundukkan kepala. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

“Bagaimana pendapatmu, Putriku?” desak sang Ibunda.

“Jika sekiranya itu adalah jalan yang terbaik untuk masa depan Ananda dan kerajaan ini, Ananda tidak keberatan. Tapi, bagaimana Ayahanda dan Ibunda memilihkan jodoh untuk Ananda?” Putri Sulung balik bertanya ingin tahu.

Baginda Mulia Nan Arif dan Bijaksana pun menjelaskan semua rencananya. Setelah mendapat persetujuan dari Putri Sulungnya, Baginda Mulia pun segera mengumpulkan semua pejabat istana untuk membicarakan segala hal yang menyangkut keperluan penyelenggaraan gelanggang tersebut. Setelah itu, para pengawal istana segera menyebarkan pengumuman ke seluruh penjuru negeri dan mengirim surat undangan kepada kerajaan-kerajaan tetangga agar bersedia mengirim utusan atau putra mahkota mereka.

Dalam waktu singkat, ramailah orang membicarakan gelanggang yang akan diselenggarakan oleh Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana itu. Setiap hari, dari pagi sampai sore, banyak pemuda dan putra mahkota berlatih untuk mengasah kemampuan dan kesaktian mereka.

Sementara para pemuda dan putra mahkota sibuk berlatih, Baginda Mulia beserta pembesar kerajaan sibuk bermusyawarah untuk persiapan pembukaan dalam acara gelanggang tersebut.

“Mahapatih, apa rencana untuk pembukaan gelanggang nanti?” tanya Baginda Mulia kepada Bendahara Kerajaan.

“Ampun, Baginda! Jika hamba boleh mengusulkan, sebaiknya kita mengadakan tari-tarian untuk menyambut para tamu,” jawab Bendahara sambil memberi hormat.

“Ada usulan yang lain?” Baginda Mulia bertanya kepada peserta rapat lainnya.

“Hamba usul Baginda!” sahut salah seorang menteri.

“Apakah itu? Katakanlah!” desak Baginda Mulia.

“Bagaimana kalau kita mengadakan jamuan makan dengan para undangan dan peserta lomba agar semakin eratlah hubungan persaudaraan kita,” ungkap sang Menteri.

“Ampun, Baginda Mulia! Untuk menjamu mereka, tentu kita harus menyediakan makanan enak dan lezat dari bahan-bahan pilihan,” tambah seorang menteri lainnya.

“Benar, Baginda! Kita harus menyembelih beberapa ekor kerbau yang besar-besar dan sehat-sehat,” Bendahara Kerajaan menambahkan.

Mendengar jawaban itu, Baginda Mulia terdiam sejenak. Ia memikirkan binatang ternak apa yang pantas untuk dihidangkan kepada para tamunya. Sesaat kemudian, tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas dalam pikirinnya.

“Ah, kalau begitu, perintahkan kepada rakyat untuk segera menangkap lima ekor kerbau yang besar-besar di hutan sebelah timur sana! Barangsiapa yang berhasil menangkapnya akan mendapat hadiah yang pantas. Tapi ingat Paman Patih, tidak boleh kurang dari lima ekor kerbau,” tegas Baginda Mulia.

“Daulah, Baginda! Perintah kami laksanakan,” jawab Bendahara sambil memberi hormat.

Bendahara Kerajaan pun segera memerintahkan para pengawal untuk menyebarkan pengumuman ke seluruh pelosok nagari. Dalam waktu singkat, seluruh rakyat nagari mengetahui pengumuman tersebut dan segera melaksanakan titah Baginda Mulia dengan penuh hormat dan tanggungjawab. Sebelum berangkat, mereka mempersiapkan segala keperluan untuk menangkap kerbau dan makanan untuk bekal di perjalanan. Sebab, hutan tempat di mana kerbau-kerbau Baginda Mulia berada sangat jauh dari perkampungan.

Setelah itu, berangkatlah satu rombongan menuju hutan yang dimaksud oleh Baginda Mulia. Berhari-hari mereka berjalan keluar masuk hutan, melintasi sungai-sungai besar, menahan hawa dingin serta terik matahari yang menyengat.

Pada suatu hari, sampailah mereka di sebuah hutan lebat. Pepohonannya tumbuh subur dan hijau.

“Apakah hutan ini yang dimaksudkan Baginda Mulia?” tanya seorang warga kepada penetua (orang yang dituakan), pemimpin rombongan itu.

Belum sempat penetua menjawab, seorang warga lain bertanya pula.

“Di mana kerbau-kerbau itu?”

“Tenang saudara-saudara! Sebaiknya kita cari dulu kerbau-kerbau itu. Barangkali mereka berkeliaran di sekitar hutan ini,” jawab penetua menenangkan anggota rombongannya.

Setelah beberapa lama mencari, mereka tidak juga menemukan kerbau-kerbau tersebut.

“Sudah kita telusuri hutan ini, namun belum juga menemukan kerbau itu,” kata seorang warga yang mulai putus asa.

“Jangan cepat putus asa, saudara! Kalau kita berusaha dengan sungguh-sungguh, kita pasti akan menemukan mereka. Inilah kesempatan kita membaktikan diri kepada Baginda Mulia yang demikian baik dan selalu memperhatikan nasib kita,” ujar penetua memberi semangat.

“Berhubung hari sudah sore, sebaiknya kita beristirahat dulu di tempat ini. Besok pagi-pagi sekali kita melanjutkan pencarian ini di hutan sebelah timur yang memisahkan dua sungai besar itu. Aku yakin hutan itulah yang dimaksudkan oleh Baginda Mulia dan kita pasti menemukan kerbau-kerbau itu,” tambah penetua sembari memberi petunjuk kepada anggota rombongannya.

Keesokan harinya, saat matahari mulai terbit, rombongan itu berangkat menuju ke arah hutan sebelah timur. Setelah melintasi beberapa sungai besar, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat. Pohon-pohonnya tampak besar-besar dan banyak binatang yang berkeliaran di dalamnya. Saat mereka menjelajahi hutan itu, tak jarang mereka menjumpai binatang buas yang sering mengancam keselamatan mereka. Namun, hal tersebut tidak membuat mereka patah semangat. Mereka terus berjalan menuju ke tengah hutan.

“Penetua! Kita beristirahat dulu sejenak. Rasanya lemas semua badanku,” pinta seorang anggota rombongan.

“Iya, Tuan! Sebaiknya kita beristirahat dulu. Sudah jauh kita berjalan, namun belum menemukan tanda-tanda keberadaan kerbau itu,” tambah anggota rombongan lainnya.

Akhirnya sebagian mereka beristirahat untuk melepas lelah sambil menikmati bekal yang hampir habis. Namun, penetua bersama beberapa anggota rombongan lainnya terus berjalan lebih jauh ke tengah hutan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar suara keras dan lantang dari seorang warga yang bertubuh gemuk dan besar.

“Koto nan ampek...! Koto nan ampek...! (Ini dia yang empat ekor!)

Anggota rombongan lain yang sedang beristirahat segera berlari menuju ke arah sumber suara itu. Mereka yang tadinya lemas, tiba-tiba menjadi kuat dan bersemangat.

“Akhirnya kita menemukan mereka,” kata penetua.

“Wah... bagus sekali warnanya, bersih dan mengkilap,” ucap seorang warga yang baru saja tiba di tempat itu.

“Untuk mengenang perjuangan kita ini, tempat ini aku namakan Koto Nan Ampek. Semoga anak cucu kita dapat mengenang perjuangan kita dan tempat ini menjadi daerah yang subur seperti keempat kerbau ini,” kata penetua.

Para warga yang ikut dalam rombongan itu pun mengangguk-angguk sebagai tanda setuju. Setelah itu, mereka pun segera menggiring keempat kerbau itu ke sebuah padang rumput.

“Lalu, bagaimana dengan kerbau yang satu ekor, Penetua?” tanya salah seorang warga.

“Aku yakin kerbau itu tidak jauh dari daerah Koto Nan Ampek ini. Sebaiknya kita bagi anggota rombongan yang ada. Sebagian menunggu keempat kerbau ini dan yang lainnya mencari kerbau yang satu itu,” ujar penetua.

“Baik, Tuan!” jawab semua anggota rombongan serentak.

Rombongan pencari kerbau itu pun dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mencari di sebelah utara, sedangkan kelompok kedua mencari di tepian sungai. Ternyata, untuk mencari seekor kerbau tidaklah mudah. Mereka harus menyusuri tepian sungai dan jalan-jalan sempit yang dikelilingi pohon-pohon besar. Namun, hal itu tidak membuat semangat mereka surut. Mereka terus mencarinya ke sana kemari. Tidak berapa lama, tiba-tiba seorang warga berteriak dengan suara keras dan lantang dari arah sungai.

“Koto nan gadang! Koto nan gadang! (Inilah yang besar!).

Mendengar teriakan itu, anggota rombongan lainnya segera mendatangi orang yang berteriak itu.

“Wah, besar sekali kerbau ini!” ucap seorang warga dengan penuh rasa kagum.

“Aku tidak pernah menyangka jika Baginda Mulia mempunyai ternak kerbau sebesar ini!” ungkap seorang warga lainnya.

Akhirnya mereka pun berhasil mendapatkan kelima kerbau itu.

“Untuk mengenang penemuan ini, maka aku namakan daerah ini dengan nama kenegerian Koto Nan Gadang, tempat ditemukannya kerbau yang terbesar. Semoga kenegerian ini akan berkembang maju dan rakyatnya mampu menjadi pembesar-pembesar negeri,” kata penetua sambil mengelus-elus kepala kerbau besar itu.

Alangkah senang hati mereka atas hasil yang mereka peroleh. Rasa lelah yang mereka rasakan pun tiba-tiba hilang. Dengan penuh semangat, mereka menggiring kelima kerbau besar itu menuju istana.

Sesampainya di istana, rombongan penetua itu disambut gembira dan disalami satu per satu oleh Baginda Mulia. Sesuai dengan janjinya, Baginda Mulia pun memberikan hadiah kepada penetua bersama rombongannya, masing-masing satu hektar tanah. Kecuali penetua mendapat dua hektar tanah, karena ia berhasil memimpin rombongannya mendapatkan lima ekor sapi tersebut untuk disembelih dalam acara pembukaan gelanggang.

Pada hari yang telah ditentukan, acara pembukan gelanggang pun dimulai. Tamu yang hadir datang dari berbagai penjuru negeri untuk mengikuti acara tersebut. Mereka disuguhkan berbagai macam makanan enak dan lezat serta pementasan tari-tarian. Usai pembukaan, acara dilanjutkan dengan acara inti, yaitu acara gelanggang. Satu per satu peserta gelanggang menunjukkan kemampuan dan kesaktiannya. Setelah seluruh peserta tampil, ditetapkanlah seorang pemenang dan dinikahkan dengan putri sulung Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana.

* * *

Demikian cerita Asal Nagari Koto Nan Ampek dan Koto nan Gadang dari daerah Sumatra Barat. Cerita di atas termasuk legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita atas, yaitu pentingnya seorang pemimpin yang arif dan bijaksana, serta sifat tidak mudah putus asa.

Pertama, pentingnya seorang pemimpin yang arif dan bijaksana. Sifat ini tampak pada sikap dan perilaku Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana dalam memimpin rakyatnya. Ia senantiasa menjalankan kewajibannya dengan baik dan memperhatikan hak-hak rakyatnya, sehingga ia pun dihormati dan dipatuhi oleh rakyatnya. Dalam kehidupan orang Melayu, pemimpin wajib dihormati, ditaati, dan dipatuhi sepanjang ia menjalankan kewajibannya dengan baik dan benar. (Tenas Effendy, 2006). Dikatakan dalam ungkapan Melayu:

Raja adil raja disembah,
Raja zalim raja disanggah

Kedua, sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini tercermin pada sifat dan perilaku penetua dalam memimpin rombongannya. Ia tidak pernah berputus asa menghadapi berbagai cobaan dan rintangan yang dihadapi ketika mencari lima ekor kerbau di tengah hutan. Berkat kesungguhannya, ia bersama rombongannya dapat menemukan kelima kerbau tersebut.

Asal Mula Nagari Koto Nan Ampek dan Koto Nan Gadang
Sumatra Barat - Indonesia

Siamang Putih


Siamang Putih
Sumatra Barat - Indonesia

Siamang Putih adalah sebuah legenda yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Sumatra Barat, khususnya yang tinggal di pesisir utara Pantai Tiku. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, siamang putih merupakan penjelmaan seorang gadis cantik yang bernama Puti Juilan. Ia adalah cucu dari Tuanku Raja Kecik yang memerintah di Kerajaan Pagaruyung saat itu. Mengapa Puti Juilan berubah menjadi siamang putih? Kisah menarik ini dapat Anda ikuti dalam cerita Siamang Putih berikut ini.

** *

Alkisah, di Kampung Alai di pesisir utara Pantai Tiku Sumatra Barat, tersebutlah seorang juragan kapal yang bernama Nahkoda Baginda. Ia adalah putra Tuanku Raja Kecik yang memerintah di Kerajaan Pagaruyung. Nahkoda Baginda mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Puti Juilan. Kecantikan parasnya terkenal hingga ke berbagai negeri. Belum seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena selain cantik bagaikan bidadari, ia juga keturunan bangsawan. Sementara, para pemuda atau perjaka yang tinggal di negeri itu dan negeri di sekitarnya kebanyakan menjadi nelayan atau anak buah ayahnya. Sebenarnya, banyak anak orang kaya atau pun keturunan bangsawan yang pantas untuk menjadi pendamping hidup Puti Juilan, namun semuanya telah berkeluarga dan beranak-pinak.

Keadaan tersebut membuat hati Puti Juilan cemas. Setiap hari ia selalu tampak murung dan mengurung diri dalam kamar. Mengetahui keadaan itu, Tuanku Raja Kecik pun cemas memikirkan nasib cucu kesayangannya itu. Ia pun segera memanggil putra dan menantunya (ayah dan ibu Puti Juilan) untuk mengadakan pertemuan keluarga. Dalam pertemuan tersebut, mereka bersepakat untuk mengadakan pesta gelanggang keramaian, yaitu tempat orang menghibur diri dan bercengkrama. Pesta yang akan berlangsung selama sebulan penuh tersebut bertujuan untuk mencarikan jodoh yang pantas untuk Puti Juilan.

Pada malam sebelum pesta itu dimulai, Puti Juilan bermimpi bertemu dengan seorang pemuda keturunan bangsawan bernama Sutan Rumandung. Ia pun menceritakan perihal mimpinya itu kepada kedua orang tua dan kakeknya. Mendengar cerita cucunya itu, Tuanku Raja Kecik menitahkan kepada pengawal istana untuk mencari pemuda itu pada saat pesta berlangsung. Pada pesta hari pertama, di antara undangan yang hadir tak seorang pun yang bernama Sutan Rumandang. Memasuki hari kedua dan ketiga, pemuda itu tidak juga ditemukan. Demikian pula pada hari-hari berikutnya hingga perhelatan besar tersebut berakhir.

Akhirnya, Tuanku Raja Kecik meminta bantuan kepada ahli nujum istana untuk menggerakkan hati Sutan Rumandang agar datang ke Kampung Alai. Dengan kesaktiannya, ahli nujum itu berhasil mendatangkan pemuda itu. Suatu hari, sebuah kapal layar berlabuh di dermaga. Perahu tersebut tampak rusak parah di mana seluruh tiangnya patah karena diterpa badai. Melihat kedatangan perahu itu, salah seorang prajurit yang bertugas di dermaga segera melapor kepada Tuanku Raja Kecik.

“Ampun, Baginda! Baru saja sebuah kapal asing berlabuh di dermaga. Kapal itu dinahkodai oleh seorang pemuda tampan,” lapor prajurit.

“Suruh pemuda itu menghadap kepadaku!” titah Tuanku Raja Kecik.

“Baik, Baginda! Titah segera hamba laksanakan!” jawab prajurit itu.

Tak berapa lama kemudian, prajurit itu pun kembali bersama pemuda itu. Tuanku Raja Kecik bersama keluarga istana, termasuk Puti Juilan, menyambutnya dengan baik. Saat melihat pemuda itu, Puti Juilan langsung tersentak kaget seakan-akan tidak percaya. Pemuda itulah yang hampir setiap malam hadir dalam mimpinya. Puti Juilan pun berbisik kepada ibunya.

“Bu, pemuda itulah yang selalu hadir dalam mimpi Puti,” bisik Puti Juilan.

“Apakah kamu yakin, Putriku?” tanya ibunya dengan suara pelan.

“Puti yakin sekali, Bu! Wajahnya sama persis dengan wajah pemuda di dalam mimpi Puti,” jawab Puti dengan penuh keyakinan.

“Baiklah kalau begitu, Putriku! Ibu akan menanyakan siapa sebenarnya pemuda itu,” kata ibunya.

“Maaf, Anak Muda! Engkau ini siapa dan berasal dari mana?” tanya ibu Puti Juilan kepada pemuda itu.

“Nama hamba Sutan Rumandang putra seorang juragan dari negeri seberang,” jawab pemuda itu.

Mendengar jawaban pemuda itu, semua keluarga istana yang hadir merasa sangat gembira dan bahagia, terutama Tuanku Raja Kecik.

“Pucuk ditiba ulam pun tiba. Pemuda yang selama ini kita tunggu akhirnya datang juga,” ucap Tuanku Raja Kecik dengan perasaan lega.

Dengan tidak sabar, Tuanku Raja Kecik ingin segera menikahkan cucu kesayangannya itu dengan Sutan Rumandang. Namun, Sutan Rumandang menolak, karena ia harus pergi mencari harta yang banyak untuk menikahi Puti Juilan.

“Maaf, Baginda! Untuk saat ini, hamba belum pantas menikahi Puti Juilan, karena usaha hamba sedang merugi,” ungkap Sutan Rumandang.

Seluruh keluarga istana pun mengerti maksud pemuda tampan itu. Namun, sebelum Sutan Rumandang berangkat berlayar, keluarga istana bersepakat untuk menunangkan mereka. Akhirnya, pertunangan itu dilangsungkan dengan sangat meriah.

Usai acara pertunangan, Sutan Rumandang memohon izin kepada Puti Juilan dan keluarga istana untuk pergi berlayar mencari harta yang banyak. Puti Juilan bersama kakek dan kedua orang tuanya turut mengantar Sutan Rumandang ke dermaga. Dalam perjalanan menuju ke dermaga, Puti Juilan terlihat sedih dan wajahnya murung. Sungguh berat hatinya ingin berpisah dengan Sutan Rumandang.

Tak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di dermaga. Sebelum kapal layar yang akan ditumpangi Sutan Rumandang meninggalkan dermaga, Puti Juilan berpesan dan mengucapkan janji kepada tunangannya.

“Kanda Sutan Rumandang, berhati-hatilah di jalan dan cepatlah kembali setelah berhasil! Dinda bersumpah akan selalu setia menanti Kanda sampai kapan pun. Dinda tidak akan menikah selain dengan Kanda. Jika Dinda melanggar sumpah ini, biarlah Dinda menjadi siamang,” ucap Puti Juilan.

“Kanda pun bersumpah, jika Kanda tidak setia kepada Dinda, biarlah Kanda tenggelam bersama kapal Kanda di tengah laut,” balas Sutan Rumandang dengan ucapan sumpah.

Setelah berpamitan, Sutan Rumandang pun berlayar mengarungi samudara luas. Dari atas kapal, ia melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. Puti Juilan pun membalasnya sambil meneteskan air mata. Semakin jauh kapal itu ke tengah laut, air mata Puti Juilan semakin deras mengalir. Ketika kapal itu hilang dari pandangan mata, Puti bersama keluarganya meninggalkan dermaga.

Sejak itu, Puti Juilan selalu berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar melindungi tunangannya dan cepat kembali untuk menikahinya. Waktu berjalan begitu cepat. Sudah setahun lebih menunggu, Puti Juilan belum juga mendapat kabar dari tunangannya. Hingga akhir tahun kedua, tunangannya belum juga kembali dari pelayarannya. Ketika memasuki tahun ketiga, sebuah kapal dagang yang besar dan megah sedang berlabuh di dermaga. Mendengar kedatangan kapal itu, Puti Juilan bersama keluarganya segera menuju ke dermaga. Saat mereka tiba di dermaga, Puti Juilan tampak kecewa, karena kapal itu ternyata bukan milik tunangannya.

Namun, kekecewaan Puti Juilan langsung terobati saat ia melihat seorang pemuda tampan berpakaian mewah dan beberapa pengawalnya turun dari kapal.

“Melihat pakaian dan jumlah pengawalnya, pemuda itu pastilah bukan orang sembarangan,” kata Puti Juilan dalam hati.

Puti Juilan terus memerhatikan pemuda itu turun dari meniti anak tangga kapal satu persatu. Dengan penuh wibawa, pemuda itu berjalan menuju ke arah tempat ia dan keluarganya berdiri. Wajah tampan dan kewibawaan pemuda itu benar-benar memikat hati Puti Juilan. Pikirannya tentang Sutan Rumandang tiba-tiba lenyap begitu saja. Seluruh perhatian dan perasaannya tercurahkan kepada pemuda tampan itu.

“Bu, coba perhatikan pemuda itu! Dia sangat tampan dan gagah,” bisik Puti Juilan.

Ibunya pun mengerti maksud Puti Juilan kalau dia menyukai pemuda itu. Ia pun mengajak pemuda itu ke istana. Setelah ditanya tentang asal-usulnya, ternyata pemuda itu seorang keturunan bangsawan dari negeri tetangga. Akhirnya, ia pun dinikahkan dengan Puti Juilan dengan mengadakan pesta yang sangat meriah. Seluruh bangsawan dan orang-orang kaya di negeri itu dan di negeri tetangga turut diundang. Berbagai seni pertunjukan juga digelar. Ketika semua undangan telah hadir, pesta pun dimulai. Penghulu mulai menanyai kesediaan kedua mempelai.

“Apakah kamu bersedia menikah dengan Puti Juilan?” tanya penghulu kepada mempelai laki-laki.

Setelah mempelai laki-laki itu menyatakan kesediaannya, penghulu itu bertanya kepada Puti Juilan. Ketika hendak menjawab pertanyaan penghulu, tiba-tiba Puti Juilan memekik seperti orang tersengat lebah.

`Aduh, sakitnya!” pekik Puti Juilan sambil melompat berdiri.

Setelah itu, Puti Juilan kembali duduk. Saat akan menjawab pertanyaan kedua dari penghulu, ia kembali memekik sambil melompat dan bergayut di ambang pintu. Pada saat akan menjawab pertanya ketiga, ia memekik lagi dengan suara yang sangat keras seraya melompat tinggi ke bubungan rumah. Semua yang hadir menyaksikan peristiwa tersebut lari berhamburan ke luar rumah. Mereka melihat tubuh Puti Juilan di atas bubungan sedikit demi sedikit ditumbuhi oleh bulu berwarna putih. Lama-kelamaan, bulu itu semakin tebal dan memenuhi tubuhnya. Bentuk tubuh dan wajahnya pun perlahan-lahan berubah menyerupai seekor siamang.

Begitu seluruh tubuh Puti Juilan telah menjelma menjadi seekor siamang putih, barulah Tuanku Raja Kecik tersadar bahwa cucu kesayangannya itu telah melanggar sumpahnya. Namun, apa hendak diperbuat, nasi telah menjadi bubur. Seluruh keluarga istana hanya bisa pasrah menerima nasib malang yang telah menimpa Puti Juilan. Setiap hari, kala sang surya akan kembali ke peraduannya, siamang putih duduk di atas bubungan rumah sambil berbunyi dengan suara keras.

“Wuuut... wuut.... wuut!”

Siamang putih itu terus berbunyi sambil menatap jauh ke arah laut menanti kedatangan Sutan Rumandang. Namun, Sutan Rumandang tak kunjung tiba. Semakin hari, suara siamang terdengar semakin sendu, seperti tangis seorang gadis yang sedang putus asa. Beberapa hari kemudian, suara siamang tidak pernah terdengar lagi. Seorang warga telah menemukannya mati di atas pohon ketaping tempatnya bersarang. Mengetahui hal itu, keluarga istana segera mengambil dan membawanya pulang untuk dikuburkan layaknya manusia. Seluruh rakyat negeri turut berduka cita atas meninggalnya Puti Juilan dalam wujud seekor siamang.

Beberapa hari kemudian, terdengarlah kabar bahwa Sutan Rumandang tenggelam di tengah laut karena telah melanggar sumpahnya, yakni menikah dengan seorang putri di negeri rantau.

* * *

Demikian cerita Siamang Putih dari daerah Sumatra Barat, Indonesia. Cerita yang berbentuk legenda tersebut di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa orang yang melanggar sumpah dan mengingkari janji seperti Puti Juilan, akan termakan oleh sumpah dan janjinya. Dalam kehidupan orang Melayu, mengingkari janji merupakan sifat tercela dan termasuk ciri kemunafikan. Orang munafik adalah orang yang bertolak belakang antara lahir dengan batinnya, atau dengan kata lain orang munafik adalah orang yang tidak jujur dan tidak pandai memegang amanah. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

apa tanda orang tidak berbudi,
lain di mulut lain di hati

apa tanda orang yang malang,
lain di muka lain di belakang

Siamang Putih
Sumatra Barat - Indonesia

Sabai nan Aluih


Sabai nan Aluih
Sumatra Barat - Indonesia


Di daerah Sumatra Barat, Indonesia, terkenal sebuah kaba (prosa Minangkabau) yang sering dinyanyikan oleh para tukang kaba sejak dahulu kala. Dalam kaba tersebut diceritakan bahwa Sabai nan Aluih adalah seorang gadis pembela kebenaran dan penumpas kejahatan. Bagaimana Sabai nan Aluih membela kebenaran dan menumpas kejahatan? Kisah selengkapnya dapat Anda ikuti dalam cerita Sabai nan Aluih berikut ini.

* * *

Alkisah, di Padang Tarok, Sumatra Barat, hiduplah sepasang suami istri, Rajo Babanding dan Sadun Saribai. Mereka tinggal bersama kedua orang anaknya di sebuah rumah bergojong (berujung) empat yang terletak di sekitar hilir Sungai Batang Agam. Anaknya yang sulung adalah seorang gadis cantik bernama Sabai nan Aluih, sedangkan anak bungsunya seorang pemuda tampan bernama Mangkutak Alam. Meskipun dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang sama, kedua kakak beradik tersebut memiliki sifat yang berbeda.

Mangkutak adalah seorang pemalas. Kerjanya setiap hari hanya bermain layang-layang, sehingga kulitnya menjadi hitam karena terbakar sinar matahari. Sedangkan Sabai nan Aluih adalah gadis cantik yang rajin membantu pekerjaan ibunya dan senantiasa mengisi waktu luangnya dengan menenun dan merenda. Sesuai dengan namanya Sabai nan Aluih (Sabai yang halus atau lembut), ia berbudi pekerti luhur, santun dalam berbicara, dan hormat kepada yang tua. Tak heran jika semua orang menyukainya.

Perangai dan kecantikan Sabai nan Alui terkenal hingga ke kampung lain. Pada suatu hari, berita tentang kencantikannya sampai ke telinga seorang teman baik ayah Sabai yang bernama Rajo nan Panjang. Ia adalah saudagar kaya yang sudah lama merantau ke Kampung Situjuh. Ia sangat disegani oleh masyarakat Kampung Situjuh, karena mempunyai tiga orang pengawal yang hebat, yaitu Rajo nan Konkong, Lompong Bertuah, dan Palimo Banda Dalam. Namun, Rajo nan Panjang termasuk saudagar kaya yang sangat keras dan suka memeras warga di sekitarnya dengan cara meminjamkan uangnya dengan bunga yang tinggi.

Ketika mengetahui sahabatnya mempunyai anak gadis yang cantik jelita, Rajo nan Panjang mengirim utusannya untuk meminang Sabai nan Aluih. Ia sangat yakin bahwa ayah Sabai pasti akan menerima pinangannya.

“Wahai, Pengawal! Aku mengutus kalian pergi menemui Rajo Babanding untuk menyampaikan pinanganku kepada anak gadisnya. Aku yakin Rajo Babanding sahabatku itu pasti senang mendapatkan menantu kaya seperti aku!” seru Rajo nan Panjang kepada para pengawalnya dengan penuh percaya diri.

Mendapat perintah tersebut, para pengawal itu pun berangkat ke Padang Tarok. Sesampainya di Padang Tarok, mereka pun menyampaikan pinangan tuannya kepada ayah Sabai nan Aluih.

“Kami adalah utusan Rajo nan Panjang dari Kampung Situjuh. Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan pinangan tuan kami kepada Sabai nan Aluih,” kata seorang utusan.

“Begini, Tuan-tuan! Saya tidak bermaksud mengecewakan hati sahabatku itu. Tolong sampaikan permintaan maaf saya kepadanya bahwa saya malu bermenantukan orang kaya yang seumur dengan saya!” pesan Rajo Babanding.

Setelah mendapat jawaban penolakan dari Rajo Babanding, para utusan itu pun segera kembali ke Kampung Situjuh untuk menyampaikan berita tersebut kepada tuan mereka. Mendengar penolakan tersebut, Rajo nan Panjang merasa sangat terhina.

“Ah, sombong sekali Pak Tua itu! Masa tidak mau bermenantukan orang kaya,” ketus Rajo nan Panjang.

“Maaf, Tuan! Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya seorang pengawalnya.

“Apakah kita harus memaksanya, Tuan?” tambah seorang pengawal lainnya.

“Jangan dulu, Pengawal! Aku akan datang sendiri ke sana untuk melamar Sabai nan Aluih. Aku yakin Rajo Babanding tidak akan menolak lagi pinanganku. Pak Tua itu pasti tahu bahwa aku ini orang besar yang mempunyai anak buah yang hebat seperti kalian,” kata Raja nan Panjang.

Akhirnya, berangkatlah Rajo nan Panjang bersama ketiga orang pengawalnya. Rajo Babanding pun menerima mereka dengan baik. Namun, hatinya berkata bahwa sahabatnya itu telah melanggar sopan santun karena meminang anak gadisnya secara langsung kepadanya. Menurut adat di negeri itu, pinangan tidak boleh disampaikan langsung kepada ayah si Gadis, melainkan kepada mamak atau adik kandung ibu gadis itu.

Sebenarnya, Rajo Babanding ingin langsung menolak pinangan tersebut. Namun, ia khawatir jika pinangan itu langsung ditolak, Rajo nan Panjang akan marah dan mengamuk. Rajo Babanding akan sangat malu jika pertengkaran terjadi di rumahnya. Untuk itu, ia pun mengajak Rajo nan Panjang untuk berunding di luar rumah.

“Sahabatku! Sebaiknya kita berunding di luar rumah saja,” ajak Rajo Babanding.

Rajo nan Panjang pun mengetahui bahwa pinangannya ditolak secara halus oleh ayah Sabai nan Aluih. Ia sadar bahwa dirinya ditantang untuk berkelahi.

“Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan sahabatku. Tapi, di mana kita akan berunding?” tanya Rajo nan Panjang menerima tantangan Rajo Babanding.

“Kita berunding di Padang Panahunan,” jawab Rajo Babanding.

“Kapan?” tanya Rajo nan Panjang.

“Bagaimana kalau hari Minggu?” jawab Rajo Babanding.

“Baik, aku setuju!” kata Rajo nan Panjang seraya berpamitan.

Setelah Rajo nan Panjang bersama para pengawalnya pergi meninggalkan rumah Rajo Babanding, tiba-tiba Sabai nan Aluih keluar dari kamarnya, lalu segera menghampiri ayah dan ibunya yang masih duduk di ruang tamu.

“Maaf, Ayah! Sabai telah mendengar semua pembicaraan Ayah dengan Rajo nan Panjang. Jika Ayah berunding dengan sahabat Ayah itu di tempat sepi, Sabai yakin pasti akan terjadi perkelahian. Bukankah begitu, Ayah?” tanya Sabai nan Aluih.

“Benar, Anakku! Tapi, kamu jangan khawatir, Ayah pasti bisa jaga diri,” jawab Ayah Sabai.

Sejak itu, Hati Sabai nan Aluih selalu bimbang memikirkan keselamatan Ayahnya. Pada malam harinya, Sabai bermimpi buruk, lumbung padi menjadi arang, kerbau sekandang dicuri orang, dan ayam ternak disambar elang. Bagi Sabai, mimpinya itu merupakan pertanda bahwa Ayahnya akan celaka. Keesokan harinya, ia pun menceritakan mimpinya itu kepada ayahnya untuk mencegah ayahnya berunding dengan Rajo nan Panjang di Padang Panahunan.

“Ayah! Semalam Sabai mimpi buruk. Sebaiknya Ayah mengurungkan niat untuk bertemu dengan Rajo nan Panjang itu. Sabai khawatir terjadi sesuatu pada diri Ayah,” kata Sabai nan Aluih cemas.

“Anakku, Sabai! Mimpimu pertanda baik. Lumbung padi terbakar berarti padi akan dipanen. Kerbau hilang berarti ternak kita akan bertambah. Ayam disambar elang berarti adikmu Mangkutak akan dilamar orang,” bujuk Rajo Babanding menenangkan hati Sabai.

“Oh, Ayah! Kalau benar demikian, hati Sabai menjadi tenang. Akan tetapi, jika malapetaka yang menimpa, ke mana lagi kami akan bergantung,” kata Sabai dengan sedih.

“Tenanglah, Anakku! Ayah lakukan semua ini demi untuk mempertahankan harkat dan martabat keluarga kita. Ayah tidak ingin kehormatan keluaga kita dicoreng oleh Raja nan Panjang yang angkuh dan sombong itu,” kata Raja Babanding.

Pada hari yang telah ditentukan pun tiba. Berangkatlah Rajo Babanding ke Padang Panahunan. Padang Panahunan adalah tempat yang sepi dan sejak dulu digunakan untuk berkelahi. Rajo Babanding membawa seorang pembantunya yang bernama Palimo Parang Tagok. Ia mengajak pembantunya itu untuk berjaga-jaga jika Rajo nan Panjang berbuat curang. Seandainya pun ia terbunuh dalam pertarungan tersebut, setidaknya Palimo Parang Tagok dapat memberi kabar kepada keluarganya yang ada di rumah.

Saat mereka tiba di Padang Panahunan, tampak Rajo nan Panjang bersama seorang pengawal setianya Palimo Banda Dalam sudah menunggu. Rupanya Rajo nan Panjang sengaja datang lebih awal untuk mengatur siasat liciknya. Ia telah memerintahkan dua orang pengawal lainnya yakni Rajo nan Kongkong dan Lompong Bertuah untuk bersembunyi di balik semak-semak. Salah seorang di antaranya membawa senapan. Senapan itu akan digunakan pada saat diperlukan.

Melihat kedatangan Rajo Babanding bersama seorang pembantunya dari kejauhan, Rajo nan Panjang berpesan kepada para pengawalnya.

“Pengawal, aku peringatkan kalian! Jangan memandang remeh Rajo Babanding! Kalian bukanlah lawannya yang sebanding. Berhati-hatilah!” seru Rajo nan Panjang.

“Baik, Tuan!” jawab para pengawalnya.

Rajo Babanding dan pembantunya semakin mendekat ke arah Raja nan Panjang. Ketika saling berhadapan, mereka pun saling menggertak.

“Hai, Rajo Babanding! Rupanya kamu berani juga mengantarkan nyawamu kemari!” seru Rajo nan Panjang.

“Kita lihat saja nanti, siapa di antara kita yang akan mati terlebih dahulu,” kata Rajo Babanding dengan tenang.

“Ha... ha... ha... !!! Tentu saja kamulah yang akan mati, Babanding,” kata Rajo nan Panjang sambil tertawa terbahak-bahak.

“Majulah kalau berani!” tantang Rajo Babanding.

Mendengar tantangan itu, Palimo Banda Dalam tiba-tiba menyerang Rajo Babanding dengan sebuah pukulan keras. Rajo Babanding pun segera berkelik menghindari pukulan itu dengan gesitnya. Berkali-kali Palimo Banda Dalam menyerang, namun tak satu pun pukulannya yang menyentuh tubuh Rajo Babanding. Melihat pengawalnya yang mulai kelelahan, Rajo nan Panjang segera membantu. Rajo Banbanding pun menjadi marah karena dikeroyok. Jika semula hanya bertahan, kini ia berbalik menyerang. Dengan sebuah pukulan keras, ia menghantam lambung kanan Palimo Banda Dalam dan seketika itu pula Palimo Banda Dalam jatuh tersungkur di tanah. Namun tanpa diduganya, tiba-tiba Lampong Bertuah menyerangnya dari belakang.

“Awas, Tuan! Musuh datang dari belakang!” teriak Palimo Parang Tagok yang melihat Lampong Bertuah muncul dari balik semak-semak.

Rajo Babanding pun segera menghindar. Selamatlah ia dari serangan itu.

“Hai, Rajo nan Panjang! Rupanya kamu telah berbuat curang!” seru Rajo Babanding.

“Ha... ha... ha... !!! Kini saatnya kamu akan mati Babanding,” kata Rajo nan Panjang

Melihat tuannya dicurangi, Palimo Parang Tagok segera membantu tuannya. Pertarungan itu pun semakin seru. Kini, satu lawan satu. Rajo Babanding menghadapi Rajo nan Panjang, sedangkan Palimo Parang Tagok menghadapi Lampong Bertuah. Namun, pertarungan antara kedua orang pengawal tersebut tidak berlangsung lama. Keduanya jatuh terkapar di tanah dengan keris menancap di tubuh mereka karena mereka saling menikam.

Sementara itu, pertarungan antara Rajo Babanding dengan Rajo nan Panjang masih berlangsung seru. Keduanya silih berganti menyerang. Mulanya, Rajo Babanding hanya bertahan dan menghidar dari serangan-serangan Rajo nan Panjang. Pada saat yang tepat, ia berbalik menyerang dengan menyabetkan kerisnya ke ke arah Rajo nan Panjang. Rajo nan Panjang pun terluka dan terjatuh. Dengan sekuat tenaga, ia berteriak memberikan aba-aba kepada Rajo nan Kongkong yang masih bersembuyi di balik semak-semak.

“Hai, Nan Konkong! Tunggu apa lagi!”

Rajo Babanding pun sadar jika Rajo nan Panjang masih mempunyai seorang pengawal lagi. Namun, baru saja ia bersiap-siap memasang kuda-kuda, tiba-tiba sebuah peluru bersarang di dadanya. Ia pun jatuh tersungkur di tanah tak sadarkan diri. Rajo nan Kongkong pun segera keluar dari balik semak-semak setelah melihat Rajo Babanding tidak berdaya lagi terkena tembakannya.

Pada saat itu, kebetulan ada seorang gembala yang menyaksikan peristiwa itu. Ia pun segera memberitahukan peristiwa itu kepada Sabai nan Aluih. Betapa terkejutnya Sabai mendengar berita itu. Pesan dalam mimpinya benar-benar menjadi kenyataan. Ia pun segera mengajak adiknya yang baru saja datang dari bermain layang-layang untuk melihat keadaan ayah mereka.

“Hai, Mangkutak! Ayo kita ke Padang Panahunan. Ayah telah meninggal terkena tembakan di dadanya!” seru Sabai nan Aluih.

“Tidak, Kak! Kakak saja yang ke sana. Aku belum mau mati. Bukankah aku akan bertunangan?” kata Mangkutak tidak menghiraukan ajakan Sabai.

“Dasar, laki-laki pengecut!” seru Sabai.

Dengan perasaan kesal, Sabai nan Aluih segera naik rumah dan langsung masuk ke dalam kamar ayahnya untuk mengambil senapan. Kemudian ia berlari menuju ke Padang Panahunan. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Rajo nan Panjang bersama pengawalnya, Rajo nan Kongkong.

“Haaaiiii, mau ke mana kamu gadis cantik?”

“Hai, tua bangka yang tidak tahu malu! Apa yang telah kau lakukan terhadap ayahku?” tanya Sabai dengan muka memerah.

“Kau cantik sekali jika sedang marah,” goda Raja nan Panjang.

“Hai, tua bangka! Jawab pertanyaanku? Kau apakan ayahku?” Sabai kembali bertanya.

“Ha... ha... ha....!!! Tidak usah lagi kamu mencari ayahmu. Pak Tua itu telah pergi meninggalkanmu,” jawab Rajo nan Panjang.

“Apa maskudmu, tua bangka?” tanya Sabai.

“Ayahmu mati tertembak senapan itu,” jawab Rajo nan Panjang sambil menunjuk senapan yang dibawa Rajo nan Kongkong.

“Jadi, kau telah menembak ayahku. Bukankah ayahku tidak bersenjata? Dasar tua bangka curang!” hardik Sabai nan Aluih sambil mengarahkan senapannya ke dada saudagar kaya yang sombong itu.

Rajo nan Panjang dan pengawalnya itu kembali terbahak-bahak sambil mengejek Sabai nan Aluih.

“Ha... ha... ha... !!! Hai, gadis cantik! Senapan itu bukan mainan anak perempuan!”

Sabai nan Aluih yang tidak tahan lagi melihat perilaku Rajo nan Panjang itu langsung menarik pelatuk senapannya. Terdengarlah suara dentaman yang sangat keras. Seketika itu pula, Rajo nan Panjang terjatuh ke tanah, karena sebuah peluru menembus dadanya. Melihat tuannya tidak sadarkan diri, Rajo nan Kongkong pun langsung lari tunggang-langgang. Sementara Sabai nan Aluih segera menuju ke Padang Panahunan untuk melihat keadaan ayahnya. Sesampainya di tempat itu, ia mendapati ayahnya sudah tidak bernyawa lagi. Hatinya sangat sedih karena sang Ayah yang merupakan tumpuan hidup keluarganya telah pergi untuk selamanya. Tak berapa lama kemudian, ibu Sabai bersama beberapa orang warga lainnya tiba di tempat itu. Mereka pun segera membawa pulang jenazah ayah Sabai untuk dikuburkan.

* * *

Demikianlah cerita Sabai nan Aluih dari daerah Minangkabau, Sumatra Barat, Indonesia. Untuk mengenang keberanian Sabai nan Aluih dalam membela kebenaran dan menumpas kejahatan, masyarakat setempat juga mengabadikan nama Sabai nan Aluih dalam sebuah kaba yang bunyinya seperti berikut:

“...Sabai nan Aluih, gadis cantik yang berhati lembut dan rajin bekerja. Ia berani membela yang benar dan melawan kejahatan, meskipun jiwanya terancam bahaya. Ia kemudian menangisi ayahnya yang tewas di Padang Panahunan. Tewas ditembak dari belakang oleh Rajo nan Kongkong...”

Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya, ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu keutamaan sifat pemberani dalam membela kebenaran, dan akibat buruk dari sifat tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan.

Pertama, keutamaan sifat pemberani dalam membela kebenaran. Sifat ini ditunjukkan oleh keberanian Sabai nan Alui menumpas kejahatan, meskipun nyawanya terancam bahaya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda dengarlah peri,
di atas yang benar hendaklah berani
menghadapi lawan berpantang lari
supaya hidupmu tidak merugi

wahai ananda dengarlah pesan,
gagah berani sifat yang jantan
berlemah lembut sifat perempuan
di atas yang hak engkau berjalan

Kedua, akibat buruk dari sifat tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku Rajo nan Panjang suka berbuat semena-mena terhadap orang lain dengan harta dan pangkat yang dimilikinya. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa jabatan, kedudukan, dan kekayaan bukanlah sebuah jaminan bagi seseorang untuk mendapatkan segala yang diinginkannya. Jika seseorang tidak pandai menjaga semua nikmat Tuhan yang diberikan kepadanya, maka bukanlah kenikmatan yang dirasakan melainkan malapetaka yang akan menimpanya. Dikatakan dalam tunjuk Ajar Melayu:

rizki jangan mematikan,
harta jangan membutaka,,
nikmat jangan menyesatkan

Sabai nan Aluih
Sumatra Barat - Indonesia

Rambun Pamenan


Rambun Pamenan
Sumatra Barat - Indonesia

Rambun Pamenan adalah anak seorang janda dari sebuah dusun di daerah Sumatra Barat, Indonesia. Ibu Rambun yang bernama Lindung Bulan sangat terkenal kecantikannya hingga ke berbagai negeri. Suatu ketika, Lindung Bulan diculik dan dipenjara karena menolak lamaran Raja Angek Garang dari Negeri Terusan Cermin. Rambu Pamenan pun berniat untuk membebaskan ibunya. Bagaimana usaha Rambun membebaskan ibunya? Ikuti kisahnya dalam cerita Rambun Pamenan berikut ini!

* * *

Alkisah, di daerah Sumatra Barat, hiduplah seorang janda bernama Lindung Bulan bersama dua orang anak laki-lakinya. Anaknya yang sulung bernama Rendo Pinang, sedangkan yang bungsu bernama Rambun Pamenan. Lindung Bulan adalah seorang janda yang cantik nan rupawan. Kecantikannya terkenal hingga ke berbagai negeri. Sejak kematian suaminya, banyak pemuda maupun duda yang datang meminangnya, namun tak satu pun pinangan yang diterimanya. Ia lebih senang menjanda daripada kedua anaknya berayah tiri.

Suatu ketika, berita tentang kecantikan Lindung Bulan terdengar oleh Raja Angek Garang dari Negeri Terusan Cermin. Sesuai dengan namanya, Raja tersebut terkenal garang (kejam). Raja kejam itu ingin memperistri Lindung Bulan. Ia pun memerintahkan beberapa hulubalangnya yang dipimpin oleh Palimo Tadung untuk menjemput Lindung Bulan.

“Palimo Tadung! Jemput dan bawa Lindung Bulan kemari! Jika dia menolak dibawa dengan baik-baik, kamu culik saja dia!” perintah Raja Angek Garang.

“Daulat, Baginda! Perintah segera dilaksanakan!” jawab Palimo Tadung.

Usai berpamitan kepada Raja, berangkatlah Palimo Tadung bersama beberapa hulubalang untuk menjemput Lindung Bulan. Sesampainya di rumah Lindung Bulan, mereka menyampaikan pinangan Raja Angek Garang. Namun, Lindung Bulan tetap ingin hidup menjanda. Sesuai dengan titah Raja Angek, maka pada malam harinya, ketika Reno Pinang dan Rambun Pamenan sedang tertidur lelap, Palimo Tadung menculik Lindung Bulan dan membawanya ke istana Raja Angek Garang dengan menggunakan burak (semacam kendaraan yang digunakan Nabi Muhammad ketika isra’ mi’raj).

Sesampainya di istana, Raja Angek Garang memaksa Lindung Bulan agar mau menjadi permaisurinya. Lindung Bulan menolak, dan Raja Angek pun menjadi kesal dan marah.

“Dasar janda keras kepala!” bentak Raja Angek dengan wajah memerah.

“Pengawal! Bawa janda bodoh ini ke penjara bawa tanah!” titahnya.

Mendengar perintah itu, beberapa pengawal istana segera menyeret Lindung Bulan ke dalam penjara. Sebelum dimasukkan ke penjara, para pengawal tersebut mengikat kedua kaki Lindung Bulan dengan rantai besi.

Bertahun-tahun Lindung Bulan dikurung dalam penjara bawah tanah. Hidupnya sangat menderita dan merana. Ia jarang diberi makan dan minum, sehingga semakin hari badannya semakin kurus. Wajah cantiknya pun semakin hari semakin pudar.

Sementara itu, sejak ibu mereka diculik, Reno Pinang dan Rambun Pamenan diasuh dan dibesarkan oleh tetangganya. Rupanya, sang Tetangga menyaksikan peristiwa ketika Lindung Bulan diculik. Namun, ia tidak mengetahui akan dibawa ke mana Lindung Bulan oleh para penculik tersebut. Kini, Reno dan Rambun telah menjadi remaja. Sang Tetangga pun merasa bahwa tibalah saatnya ia harus menceritakan peristiwa yang telah menimpa ibu mereka. Reno dan Rambun sangat sedih mendengar cerita itu. Rambun berpikir bahwa ibunya masih hidup. Maka timbullah pikirannya ingin pergi mencari ibunya. Namun, ia bingung, karena tidak ada jejak atau pun petunjuk mengenai keberadaan ibunya.

Pada suatu hari, ketika sedang mencari balam (burung tekukur) di hutan, Rambun bertemu dengan seorang pemburu bernama Alang Bangkeh sedang beristirahat di bawah sebuah pohon rindang. Setelah berkenalan, Rambun menceritakan peristiwa yang dialami ibunya hingga ia berniat untuk pergi mencarinya. Mendengar cerita Rambun, Alang Bangkeh tiba-tiba tersentak kaget.

“Benarkah Lindung Bulan itu ibumu, Rambun?” tanya Alang Bangkeh.

“Benar, Paman! Apakah Paman pernah bertemu dengannya? Tolong katakan di mana sekarang ibuku!” desak Rambun.

“Maaf, Rambun! Paman tidak pernah bertemu dengan ibumu. Paman hanya pernah mendengar kabar bahwa ibumu, Lindung Bulan, sudah bertahun-tahun ditawan oleh Raja Angek Garang di Negeri Terusan Cermin,” jelas Alang Bangkeh.

“Dari mana Paman dengar kabar itu?” tanya Rambun penasaran.

“Paman sering berkelana menjelajahi berbagai negeri. Hampir setiap negeri yang Paman singgahi, Paman sering mendengar pembicaraan penduduk tentang Lindung Bulan yang ditawan di Negeri Terusan Cermin karena menolak pinangan Raja Angek Garang,” ungkap Alang Bangkeh.

“Apakah Paman tahu letak Negeri Terusan Cermin?” tanya Rambun.

“Maaf, Rimbun! Kebetulan Paman belum pernah ke negeri itu. Tapi, semua orang tahu bahwa Negeri Terusan Cermin berada di seberang hutan belantara. Hanya saja tidak ada orang yang tahu persis di seberang hutan belantara yang mana negeri itu berada, karena di negeri ini banyak sekali hutan belantara,” kata Alang Bangkeh.

Meski demikian, Rambun tetap bertekad ingin pergi mencari dan membebaskan ibunya. Sejak itu, ia sangat tekun belajar bela diri dan menuntut ilmu pengetahuan kepada beberapa guru silat dan orang pintar. Melihat tindakan Rambun itu, Reno pun selalu bertanya-tanya dalam hati. Oleh karena penasaran, ia pun bertanya kepada adiknya.

“Hai, Adikku! Untuk apa kamu lakukan semua itu?” tanya Reno.

Rambun kemudian bercerita kepada kakaknya tentang cerita Alang Bangkeh bahwa ibu mereka masih hidup dan ia berniat untuk pergi mencarinya. Berkali-kali Reno Pinang berusaha untuk membujuk adiknya agar mengurungkan niatnya, namun sang Adik tetap bersikukuh hendak pergi mencari ibunya. Ibu asuhnya pernah berkata bahwa setiap cita-cita yang luhur, bagaimanapun sulitnya, akan dapat diraih dengan kerja keras dan sungguh-sungguh.

“Memang Adik masih muda, tapi Adik bisa menjaga diri. Adik telah belajar ilmu silat dan ilmu pengetahuan kepada banyak guru silat dan orang pintar. Jadi, Kakak tidak usah mencemaskan Adik,” ujar Rambun.

“Baiklah, kalau itu keinginanmu. Doa Kakak menyertai perjalananmu. Semoga kamu berhasil menemukan ibu,” ucap sang Kakak.

Setelah mempersiapkan segala keperluannya, berangkatlah Rambun untuk pergi mencari Negeri Terusan Cermin. Ia berjalan seorang diri keluar masuk hutan belantara, menaiki dan menuruni gunung. Semakin jauh ia berjalan, bekalnya pun semakin berkurang. Suatu hari, Rambun jatuh sakit di tengah hutan belantara, karena kelaparan dan kelelahan. Namun, berkat doa sang Kakak, ia pun sembuh. Rupanya, sang Kakak mengirimkan ramuan penangkal lapar berupa sebungkus nasi dan sebutir telur melalui mimpi Rambun. Peristiwa ajaib itu berlangsung beberapa kali sampai Rambun bertemu dengan seorang petani ladang di tepi hutan.

Rambun kemudian menumpang di rumah petani itu untuk memulihkan badannya yang sangat letih setelah melewati beberapa hutan belantara. Sebagai balas jasa, Rambun membantu petani itu bekerja di ladang. Ia bekerja sangat rajin dan tekun, sehingga petani itu sangat kagum kepadanya. Suatu malam, ketika mereka sedang duduk-duduk di dekat api unggun sambil membakar ubi, petani itu bertanya kepada Rambun.

“Apa gerangan yang membawamu sampai ke daerah ini, Rambun?” tanya si pemilik ladang.

Rambun pun menceritakan asal usul dan tujuannya berkelana. Mendengar cerita Rambun, pemilik ladang itu memberitahu bahwa Rambun telah menempuh hutan yang salah. Seharusnya ia melewati hutan sebelah barat. Akhirnya, Rambun pun memutuskan untuk tinggal beberapa lama untuk membantu si pemilik ladang. Setelah memanen tanaman ubi dan jagungnya, barulah ia berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum Rambun berangkat, pemilik ladang itu memberinya sebuah tongkat.

“Bawalah tongkat ini! Semoga dapat berguna dalam perjalananmu nanti. Tongkat ini namanya Manau Sungsang,” kata si pemilik ladang seraya menyerahkan tongkat itu kepada Rambun.

Setelah menerima tongkat itu, berangkatlah Rambun menelusuri hutan sebelah barat. Ketika menelusuri hutan itu, tiba-tiba ia melihat seorang perimba (pencari nafkah di hutan) sedang dililit seekor ular besar. Tanpa berpikir panjang, Rambun segera memukul kepala ular itu dengan tongkatnya sehingga lilitannya lepas dan ular itu pun mati seketika.

“Terima kasih, Anak Muda! Engkau telah menyelamatkan nyawaku. Kalau boleh aku tahu, engkau siapa dan dari mana asal usulmu?” tanya perimba itu.

Rambun pun menceritakan kisah perjalanannya dari awal hingga ia berada di tempat itu. Mendengar cerita tersebut, perimba itu pun mengerti maksud dan tujuan Rambun berkelana.

“Karena engkau telah menolong Paman, maka Paman akan mengantarmu ke Negeri Terusan Cermin agar engkau cepat sampai di sana,” ujar perimba itu.

“Apa maksud, Paman? Bukankah negeri itu masih sangat jauh dari tempat sini?” tanya Rambun.

Sambil tersenyum, perimba itu menyuruh Rambun untuk memejamkan mata sejenak. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Rambun merasa tubuhnya melayang-layang di udara. Setelah membuka matanya, barulah ia menyadari bahwa perimba itu menerbangkan dirinya menuju ke Negeri Terusan Cermin. Perimba itu terbang melesat bagaikan burung garuda. Perjalanan yang cukup jauh tersebut mereka tempuh dalam waktu yang singkat. Sesampainya di Negeri Terusan Cermin, sang Perimba menurunkan Rambun di tepi sebuah dusun.

“Maaf, Rambun! Paman hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Carilah ibumu ke istana Raja Angek Garang!” seru perimba itu seraya kembali terbang menuju ke hutan belantara.

Ketika tiba di dusun itu, Rambun tiba-tiba merasa sangat lapar. Ia pun mendatangi sebuah lepau (kedai nasi). Lepau itu terlihat sepi. Yang terlihat hanya seorang wanita, si pemilik lepau, sedang bernyanyi menunggu pembeli.

“Permisi, Bu! Saya sangat lapar, tetapi saya tidak mempunyai uang. Berilah saya pekerjaan apa saja untuk membayar nasi,” kata Rambun mengiba.

Oleh karena iba, pemilik lepau itu memberikan makanan kepada Rambun dengan cuma-cuma. Untuk membalas kebaikan wanita itu, Rambun pun bekerja di lepau itu. Ia menyediakan kayu bakar dan memperbaiki bagian-bagian lepau yang sudah rusak.

Suatu hari, Rambun bercerita kepada wanita itu tentang maksud dan tujuannya berkelana ke Negeri Terusan Cermin. Si pemilik lepau pun bercerita bahwa puluhan tahun yang lalu Raja Angek Garang menyekap ibu Rambun, Lindung Bulan, di penjara istana. Mendengar cerita wanita itu, Rambun semakin tidak sabar ingin membebaskan ibunya. Ia pun mulai mengatur siasat.

Suatu ketika, Rambun berjalan-jalan ke kota kerajaan Negeri Terusan Cermin untuk mempelajari seluk beluk dan keadaan istana. Keesokan harinya, ia pun berpamitan kepada si pemilik lepau. Sebelum Rambun berangkat ke istana, si pemilik lepau memberinya pakaian untuk menggantikan mengganti bajunya yang sudah usang dan robek.

Sesampainya di istana, Rambun melihat tujuh orang hulubalang sedang berjaga-jaga di depan gerbang istana. Ia pun menghampiri salah seorang hulubalang.

“Permisi, Tuan! Bolehkah saya masuk ke dalam istana?” kata Rambun.

“Hai, Anak Kecil! Siapa kamu dan untuk apa kemari?” tanya salah seorang hulubalang.

“Saya ingin membebaskan ibu saya yang ditawan Raja Angek Garang sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab Rambun.

Hulubalang itu tertawa terbahak-bahak, lalu memanggil teman-temannya yang lain.

“Hai, teman-teman! Lihat, anak kecil ini mau membuat masalah!”

Keenam hulubalang yang lainnya itu segera menghampiri Rambun. Tiba-tiba salah seorang dari mereka mengangkat tubuh Rambun dan menimang-nimangnya.

“Ayo, teman-teman! Kita bermain lempar-tangkap. Tangkaplah anak ini!” seru hulubalang itu seraya melemparkan tubuh Rambun kepada temannya yang lain.

Setelah para hulubalang itu letih melemparkan tubuh Rambun ke sana kemari, salah seorang dari mereka kemudian melemparkan tubuh Rambun ke tanah lalu menendanginya secara bergantian. Rambun pun tidak sabar melihat perlakuan para hulubalang itu terhadap dirinya. Sambil menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya, Rambun memukulkan tongkat Manau Sungsangnya ke kepala salah seorang hulubalang. Hulubalang itu pun langsung tewas seketika. Melihat temanya terkapar tidak berdaya, keenam hulubalang yang lainnya lari tunggang langgang masuk ke dalam istana untuk melaporkan peristiwa itu kepada Palimo Tadung.

Tidak berapa lama, datanglah Palimo Tadung bersama beberapa hulubulang. Baru saja ia akan menghunus pedangnya, Rambun mendahului memukulkan tongkat saktinya ke kepalanya hingga tewas tak berdaya. Para hulubalang yang menyaksikan peristiwa itu segera melapor kepada Raja Angek Garang. Mendengar laporan itu, Raja Angek Garang langsung naik pitam.

“Dasar hulubalang tidak becus! Menghadapi anak kecil saja kalian tidak sanggup!” bentak sang Raja.

“Ampun, Baginda! Anak itu memiliki tongkat sakti,” sahut seorang hulubalang.

Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba saja Raja Angek Garang menghunus pedangnya lalu menusukkannya ke perut hulubalang itu hingga tewas. Dengan pedang terhunus, ia segera menemui Rambun yang sudah berdiri menunggu di depan istana. Raja Angek Garang pun langsung menyabetkan pedangnya berkali-kali ke arah Rambun. Namun, dengan gesit dan lincah, Rambun dapat menghindari serangan Raja Angek Garang. Pada saat yang tepat, Rambun memukulkan tongkatnya ke kepala Raja kejam itu. Tapi, pukulan Rambun masih dapat ditangkis oleh Raja Angek dengan pedangnya.

“Hai, bocah tengik! Kamu tidak akan sanggup mengalahkanku. Pedangku lebih sakti daripada tongkatmu. Ha... ha... ha...!” seru Raja Angek Garang sambil tertawa terbahak-bahak.

Rambun pun mengerti bahwa kesaktian Raja Angek terletak pada pedangnya. Maka, ketika Raja Angek mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, dengan secepat kilat, Rambun melompat dan memukul pedang itu. Pedang itu pun terlepas dari genggaman Raja Angek. Pada saat itulah, Rambun segera memukul kepala Raja Angek Garang hingga jatuh dan tewas seketika. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu bersorak gembira, karena Raja kejam itu telah mati.

Setelah itu, Rambun pun memerintahkan para hulubalang untuk membebaskan semua tawanan. Ia pun masuk ke dalam penjara mengikuti para hulubalang untuk mencari ibunya. Ia pun meminta kepada salah seorang penjaga penjara untuk menunjukkan tempat ibunya disekap. Tak berapa lama, ia pun melihat ibunya dalam keadaan menyedihkan. Kaki ibunya terikat rantai besi. Badannya sangat kurus dan matanya cekung. Dengan perasaan haru, Rambun pun segera memeluk ibunya sambil menangis.

“Ibu...! Ini aku Rambun Pamenan, anak Ibu! Anak bungsu Ibu yang Ibu tinggalkan ketika masih kecil,” kata Rambun.

“Anakku! Maafkan Ibu, Nak!” ucap Lindung Bulan dengan suara serak.

Setelah itu, rakyat Negeri Terusan Cermin meminta kepada Rambun untuk menjadi raja menggantikan Raja Angek Garang yang kejam itu. Namun, Rambun tidak ingin menjadi raja di negeri asing. Ia pun mengajak ibunya untuk kembali ke kampung halamannya. Akhirnya, Rambun pun berkumpul kembali bersama ibu dan kakaknya, Reno Pinang.

* * *

Demikian cerita Rambun Pamenan dari daerah Sumatra Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat berbakti kepada orangtua, gemar menolong, serta akibat buruk dari sifat sombong dan angkuh.

Pertama, keutamaan sifat berbakti kepada orangtua. Sifat ini ditunjukkan oleh sifat dan perilaku Rambun Pamenan. Untuk menunjukkan kebaktiannya kepada ibunya, Rambun bekerja keras dan bersungguh-sungguh menuntut ilmu silat untuk membebaskan ibunya. Alhasil, berkat kerja keras dan kesungguhannya, ia dapat membebaskan ibunya dari penjara. Dikatakan dalam tunjuk Ajar Melayu:

wahai ananda intan di karang,
memelihara ibu bapa janganlah kurang
jaga hatinya supaya tenang
Allah berikan jalan yang terang

Kedua, sifat gemar menolong. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Rambun Pamenan ketika dalam perjalanan menuju ke Negeri Terusan Cermin hendak mencari ibunya. Ia beberapa kali menolong orang yang membutuhkan pertolongannya. Dengan sifat penolongnya itu, ia pun sering mendapat pertolongan dari orang lain. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat gemar menolong akan melapangkan jalan seseorang. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

adat hidup melayu berakal,
sesama makhluk kasihnya kekal
membantu orang hatinya pukal
menolong dengan niat beramal
berbuat baik sebagai bekal
sakit senang tiada menyesal

Ketiga, akibat buruk dari sifat sombong dan angkuh. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Raja Angek Garang yang karena keperkasaan dan kekuasaannya dapat melakukan kesewenang-wenangan terhadap orang lain. Akibatnya, ia pun harus tewas secara mengenaskan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

kalau dipakai sifat sombong,
alamat perut akan mengembung

Rambun Pamenan
Sumatra Barat - Indonesia

Entri Populer

Nafa Graphica akan selalu berusaha untuk selalu memberikan pelayanan yang terbaik. Alamat; Jl. Jepara Bugel KM 05 Peteketan Rt 01 Rw 01,kec. Tahunan Kab. Jepara .E-mail: nafagraphica@gmail.com Hp: 081 390 917 439