Ukiran Lambang Garuda Pancasila

dapatkan Ukiran Lambang Garuda Pancasila di www.garudajepara.com. mengingat dalam undang-undang dasar 45 mewajibkan bangsa indonesia untuk melengkapi ruangan instansi dengan memasang atribut lambang garuda pancasila.
Anda boleh membaca atau mengcopy artikel-artikel di blog ini secara GRATISS, karena kami yakin anda juga adalah salah seorang yang selalu ingin belajar untuk maju. Semoga artikel-artikel kami bermanfaat untuk kalian semua. Amin

Selasa, 12 April 2011

Sejarah dan Budaya Aceh Jaya

Sejarah dan Budaya Aceh Jaya
Apa yang terlintas dibenak Anda ketika mendengar nama Aceh Jaya?

Aceh Jaya adalah kabupaten yang terletak pada koordinat geografis 04°22’ -05°16’ LU dan 95°02’ – 96°03’ BT, radius hanya beberapa mil laut dari titik episetrum gempa di dasar Samudera Hindia yang menimbulkan histeria dunia pada 26 Desember 2004 silam.
Fenomena alam tidak lazim yang menggulung dan membenamkan beberapa negara di kawasan Asia, semenanjung pantai barat Sumatera terutama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tersebut akan dikenang sepanjang masa, dan sejarah telah mentakdirkan Kabupaten Aceh Jaya yang terbentuk pada tanggal 22 Juli 2002 ini sebagai daerah yang paling mengenaskan terkena guncangan gempa tektonik berskala 9.0 skala richter disusul terjangan gelombang pasang tsunami berkekuatan raksasa. Paska musibah tersebut, Aceh Jaya menjadi sangat identik dengan tsunami.
KARENA berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, Pesisir aceh bagian barat kerap dipuji memiliki kawasan pantai terindah di seluruh Aceh. Sejak abad ke-18 tersohor sebagai persinggahan kapal pengangkut lada dari Amerika. Dalam buku The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands and Britain, 1858-1898 (1969), Anthony Reid mencatat bahwa pada tahun 1820, lada dari beberapa pelabuhan di Aceh Barat, seperti Patek, Rigah, Calang, Teunom, dan Meulaboh, menjadi komoditas terkenal di Massachusetts, Amerika Serikat.Kini, semua itu tinggal kenangan. Bencana alam seperti gelombang pasang, hujan deras plus angin ribut yang sering menyebabkan banjir, longsor, dan putusnya sarana transportasi dan komunikasi seolah tak pernah lepas dari daerah ini. Bencana besar yang pernah tercatat antara lain tahun 1962, 1978, 1992, Agustus 1999 dan terakhir Desember 2004.

Di awal era 1990-an wisatawan asing banyak berdatangan ke Aceh Jaya yang saat itu tergabung dalam Kabupaten Aceh Barat. Mereka berselancar, menyelam, dan menikmati keindahan laut di pantai yang berbatasan dengan Samudra Hindia. Garis pantai di Kabupaten Aceh Jaya sepanjang 135 kilometer. Animo turis asing kala itu sangat tinggi terhadap keindahan laut daerah ini.
Tempat peristirahatan pun dibangun melengkapi kebutuhan wisatawan. Di Kuala Dou, Kecamatan Setia Bakti, seorang arsitektur asing membangun pondok-pondok wisata khusus untuk wisatawan asing. Uniknya, pondok-pondok itu dibangun tidak saja di atas fondasi tanah, tetapi juga di atas pohon. Namun, kondisi keamanan yang kian mengkhawatirkan dengan meningkatnya aksi senjata antara GAM dan TNI membuat pariwisata di daerah ini mati suri. Turis enggan datang dan tempat peristirahatan itu pun menjadi sepi dan terbengkalai.
Selain potensi wisata bahari, berbatasan dengan Samudra Hindia tentu saja memberi keuntungan lain bagi daerah ini, yaitu terbukanya lapangan usaha penangkapan ikan. Produksi perikanan laut rata-rata 12.000 ton per tahun yang diusahakan oleh sekitar 10.560 nelayan. Hasil ini sebagian besar dikonsumsi penduduk lokal. Hanya sekitar sepertiga yang diserap konsumen lain setelah dikirim ke Medan.
Kemampuan menangkap ikan nelayan Aceh Jaya belum optimal. Perahu yang sederhana membuat kemampuan melaut paling jauh sekitar 10 mil laut. Alat tangkap ikan pun masih sederhana, hanya mampu menangkap ikan ukuran kecil seperti ikan kembung, kakap, atau tongkol. Perairan tempat menjaring ikan pun terkadang dikuasai oleh nelayan asing dari Thailand yang dianggap memiliki peralatan lebih modern.
Keterbatasan lain dalam memanfaatkan sektor perikanan laut masih harus dihadapi oleh para nelayan. Keterbatasan itu antara lain ketiadaan tempat pelelangan ikan (TPI) yang lengkap dengan fasilitasnya, ketiadaan tempat pendingin (cold storage), dan pelabuhan samudra atau pelabuhan ekspor untuk memasarkan langsung hasil-hasil laut. Selama ini pemasaran ikan beku, juga hasil bumi lainnya, dilakukan dengan mengirim ke Medan.
Mata pencarian penduduk Aceh Jaya tidak hanya bergantung pada laut. Hasil tangkapan dari laut diakui belum bisa menambah pendapatan keluarga, hanya membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar perekonomian daerah bertumpu pada pertanian, terutama menyediakan kebutuhan pangan penduduk lokal.
Lahan pertanian di sini banyak ditanami padi. Luasnya 18.293 hektar dan menghasilkan tak kurang 65.000 ton padi (2003). Areal lainnya sekitar 1.426 hektar ditanami kacang-kacangan, jagung, ketela, sayur, dan hortikultura lainnya.
Secara umum, kegiatan pertanian menguasai 71,4 persen total perekonomian daerah Rp 302,2 miliar. Di antaranya 28 persen bersumber dari tanaman pangan, sedangkan perikanan baru berperan lima persen.
Selain ladang dan persawahan, lahan perkebunan banyak dijumpai di daerah ini. Tanaman karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, dan kakao memenuhi areal tersebut dan menjadi komoditas andalan. Tanaman karet menghampar di lahan 7.717 hektar dan menghasilkan 5.811 ton tahun 2003. Dari segi produksi, komoditas yang banyak menghasilkan adalah kelapa sawit. Penduduk menggarap areal kelapa sawit 4.999 hektar menghasilkan 24.258 ton tandan buah segar (TBS). Sekitar 2.200 rumah tangga memiliki kebun kelapa sawit, masingmasing 2-5 hektar. Selain perkebunan yang diusahakan rakyat, terdapat tiga perusahaan swasta yang mengelola 1.818 hektar kelapa sawit dan menghasilkan 1.100 ton TBS.
Produksi kelapa sawit belum dapat langsung diolah menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Ini disebabkan belum ada pabrik pengolahan CPO. Jadi, kelapa sawit dijual ke penampung yang membawanya ke daerah lain yang memiliki pabrik CPO seperti ke Langsa dan Meulaboh.
Meski belum memiliki pabrik pengolahan CPO, potensi pengembangan tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit, terbuka lebar. Aceh Jaya memiliki potensi lahan perkebunan 49.355 hektar. Dari luas ini 23.827 hektar yang sudah dimanfaatkan. Lahan cadangan perkebunan bisa diperoleh dari hutan, terutama dari pemberdayaan lahan kritis.
Potensi kehutanan kabupaten ini 341.353 hektar. Luas lahan kritis 58.635 hektar, sedangkan hutan produksi 200.244 hektar. Sayangnya, penebangan kayu oleh tiga perusahaan yang mendapat hak pengusahaan hutan 190.504 hektar tak berjalan karena faktor keamanan. Penebangan untuk mencukupi kebutuhan kayu daerah dilakukan pengusaha yang memiliki izin pemanfaatan kayu di atas areal 1.000 hektar.
Banyak lapangan usaha yang belum tergarap optimal dan perlu perhatian investor. Sektor pertambangan seperti batu bara, semen, bauksit, dan batu granit belum tergarap.
Sektor industri pengolahan menjadi lapangan usaha yang semestinya mulai dikembangkan, melihat produksi sektor perkebunan, kehutanan, dan pertanian umumnya cukup berlimpah dan bisa ditingkatkan. Setidaknya ada kelapa sawit, karet, dan kayu yang bisa diolah. Selama ini industri pengolahan hanya menyumbang sekitar empat persen pada keseluruhan perekonomian daerah dengan nilai berkisar Rp 11 miliar setahun. Yang berkembang pun sebatas industri rumahan yang berbasis tanaman pangan.
Masalah keamanan memang menjadi momok yang menakutkan investor atau pengusaha membuka usaha di sini. Namun, menjelang status darurat militer di NAD dicabut, pemerintah kabupaten bisa berbenah mempersiapkan infrastruktur pendukung yang menyangkut jaringan jalan, listrik, dan komunikasi melalui telepon.
Ada sejumlah potensi perikanan darat, perkebunan, dan subsektor pertanian lainnya yang dilihat memberi sentuhan langsung pada masyarakat bila dikembangkan dengan sistem modern. Perikanan darat bagi kawasan pesisir boleh dikatakan selama ini belum dilakukan dengan baik, kecuali pada beberapa lokasi secara tradisional oleh masyarakat. Begitu juga perkebunan dan subsektor pertanian lainnya. Sentuhan modal yang memadai diharapkan mampu menggerakkan potensi tersebut.
Buktinya, kawasan Patek di sana mampu berkembang dan menghasilkan kopi serta jeruk manakala dikembangkan untuk program transmigrasi. Pengembangan itu tentu saja membutuhkan modal bagi petani, atau petani dilibatkan langsung dengan sistem penataan modal yang baik. Ketika Patek kemudian berkembang dan hasil pertaniannya melimpah, konfliklah yang kemudian membuatnya jadi babak belur. Kondisi keamanan menjadi alasan utama penyebab itu semuanya.
Jadilah kemudian jeruk asal Patek yang nyaris tinggal nama. Begitu juga kopi, kates, ataupun ubi kayu. Kawasan itu berubah menjadi areal yang menyeramkan manakala konflik muncul dan menyebabkan orang-orang harus angkat kaki dari sana. Sekali lagi dalam konteks ini, faktor keamanan, khususnya menyangkut keamanan bagi rakyat, menjadi sangat penting diperhatikan.
Si Mata Biru di Aceh Jaya
Jika hanya dilihat dari perawakan dan warna kulit, mereka jelas orang bule. Tak ada ciri orang Aceh atau bahkan Melayu sekalipun. Bermata biru, tinggi, dan berkulit putih, adalah ciri umum mereka. Hanya saja mereka tidak menggunakan bahasa Inggris, kecuali bahasa Aceh dan Indonesia.
Itulah sosok sebagian penduduk pedalaman Kecamatan Jaya di Kabupaten Aceh Jaya. Mereka adalah penduduk asli yang konon memiliki "garis darah" dengan orang-orang Portugis sejak abad ke-15. Di pedalaman sana mereka hidup dengan tradisi keacehan yang kental.
Tidak sulit menemukan mereka, apalagi bila mau masuk ke desa-desa. Di Pasar Patek, pada lintasan Banda Aceh-Meulaboh, misalnya, sosok "bule" itu dengan mudah ditemukan. Anak-anak yang pergi atau pulang sekolah di jalan juga di antaranya ada "anak-anak bule". Mereka bergaul dan bercanda dengan sesama temannya dengan akrab.
Dari cerita yang berkembang di masyarakat diketahui bahwa mereka berdarah Portugis. Setidaknya dari garis ayah, sejak abad ke-15 lalu. Kala itu sebuah kapal Portugis ditaklukkan serdadu Kerajaan Daya, bagian dari Kerajaan Aceh di perairan Samudra Hindia.


Orang-orang di kapal tersebut kemudian ditawan oleh kerajaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya mereka malah masuk Islam dan tetap tinggal di sana serta kawin dengan penduduk setempat. Jadilah kemudian turunan mereka berkulit putih dan bermata biru hingga sekarang.
Sosok mereka bukanlah sebuah misteri karena latar belakang kehadiran mereka yang jelas. Warna kulit dan profil akibat status perkawinan campuran tidak menghilangkan ciri khas mereka. Paling tidak mata birunya masih dominan dan warna kulit putih, meskipun tinggi badan mereka sama dengan penduduk lainnya.

Apa yang terlintas dibenak Anda ketika mendengar nama Aceh Jaya?

Aceh Jaya adalah kabupaten yang terletak pada koordinat geografis 04°22’ -05°16’ LU dan 95°02’ – 96°03’ BT, radius hanya beberapa mil laut dari titik episetrum gempa di dasar Samudera Hindia yang menimbulkan histeria dunia pada 26 Desember 2004 silam.
Fenomena alam tidak lazim yang menggulung dan membenamkan beberapa negara di kawasan Asia, semenanjung pantai barat Sumatera terutama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tersebut akan dikenang sepanjang masa, dan sejarah telah mentakdirkan Kabupaten Aceh Jaya yang terbentuk pada tanggal 22 Juli 2002 ini sebagai daerah yang paling mengenaskan terkena guncangan gempa tektonik berskala 9.0 skala richter disusul terjangan gelombang pasang tsunami berkekuatan raksasa. Paska musibah tersebut, Aceh Jaya menjadi sangat identik dengan tsunami.
KARENA berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, Pesisir aceh bagian barat kerap dipuji memiliki kawasan pantai terindah di seluruh Aceh. Sejak abad ke-18 tersohor sebagai persinggahan kapal pengangkut lada dari Amerika. Dalam buku The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands and Britain, 1858-1898 (1969), Anthony Reid mencatat bahwa pada tahun 1820, lada dari beberapa pelabuhan di Aceh Barat, seperti Patek, Rigah, Calang, Teunom, dan Meulaboh, menjadi komoditas terkenal di Massachusetts, Amerika Serikat.Kini, semua itu tinggal kenangan. Bencana alam seperti gelombang pasang, hujan deras plus angin ribut yang sering menyebabkan banjir, longsor, dan putusnya sarana transportasi dan komunikasi seolah tak pernah lepas dari daerah ini. Bencana besar yang pernah tercatat antara lain tahun 1962, 1978, 1992, Agustus 1999 dan terakhir Desember 2004.

Di awal era 1990-an wisatawan asing banyak berdatangan ke Aceh Jaya yang saat itu tergabung dalam Kabupaten Aceh Barat. Mereka berselancar, menyelam, dan menikmati keindahan laut di pantai yang berbatasan dengan Samudra Hindia. Garis pantai di Kabupaten Aceh Jaya sepanjang 135 kilometer. Animo turis asing kala itu sangat tinggi terhadap keindahan laut daerah ini.
Tempat peristirahatan pun dibangun melengkapi kebutuhan wisatawan. Di Kuala Dou, Kecamatan Setia Bakti, seorang arsitektur asing membangun pondok-pondok wisata khusus untuk wisatawan asing. Uniknya, pondok-pondok itu dibangun tidak saja di atas fondasi tanah, tetapi juga di atas pohon. Namun, kondisi keamanan yang kian mengkhawatirkan dengan meningkatnya aksi senjata antara GAM dan TNI membuat pariwisata di daerah ini mati suri. Turis enggan datang dan tempat peristirahatan itu pun menjadi sepi dan terbengkalai.
Selain potensi wisata bahari, berbatasan dengan Samudra Hindia tentu saja memberi keuntungan lain bagi daerah ini, yaitu terbukanya lapangan usaha penangkapan ikan. Produksi perikanan laut rata-rata 12.000 ton per tahun yang diusahakan oleh sekitar 10.560 nelayan. Hasil ini sebagian besar dikonsumsi penduduk lokal. Hanya sekitar sepertiga yang diserap konsumen lain setelah dikirim ke Medan.
Kemampuan menangkap ikan nelayan Aceh Jaya belum optimal. Perahu yang sederhana membuat kemampuan melaut paling jauh sekitar 10 mil laut. Alat tangkap ikan pun masih sederhana, hanya mampu menangkap ikan ukuran kecil seperti ikan kembung, kakap, atau tongkol. Perairan tempat menjaring ikan pun terkadang dikuasai oleh nelayan asing dari Thailand yang dianggap memiliki peralatan lebih modern.
Keterbatasan lain dalam memanfaatkan sektor perikanan laut masih harus dihadapi oleh para nelayan. Keterbatasan itu antara lain ketiadaan tempat pelelangan ikan (TPI) yang lengkap dengan fasilitasnya, ketiadaan tempat pendingin (cold storage), dan pelabuhan samudra atau pelabuhan ekspor untuk memasarkan langsung hasil-hasil laut. Selama ini pemasaran ikan beku, juga hasil bumi lainnya, dilakukan dengan mengirim ke Medan.
Mata pencarian penduduk Aceh Jaya tidak hanya bergantung pada laut. Hasil tangkapan dari laut diakui belum bisa menambah pendapatan keluarga, hanya membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar perekonomian daerah bertumpu pada pertanian, terutama menyediakan kebutuhan pangan penduduk lokal.
Lahan pertanian di sini banyak ditanami padi. Luasnya 18.293 hektar dan menghasilkan tak kurang 65.000 ton padi (2003). Areal lainnya sekitar 1.426 hektar ditanami kacang-kacangan, jagung, ketela, sayur, dan hortikultura lainnya.
Secara umum, kegiatan pertanian menguasai 71,4 persen total perekonomian daerah Rp 302,2 miliar. Di antaranya 28 persen bersumber dari tanaman pangan, sedangkan perikanan baru berperan lima persen.
Selain ladang dan persawahan, lahan perkebunan banyak dijumpai di daerah ini. Tanaman karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, dan kakao memenuhi areal tersebut dan menjadi komoditas andalan. Tanaman karet menghampar di lahan 7.717 hektar dan menghasilkan 5.811 ton tahun 2003. Dari segi produksi, komoditas yang banyak menghasilkan adalah kelapa sawit. Penduduk menggarap areal kelapa sawit 4.999 hektar menghasilkan 24.258 ton tandan buah segar (TBS). Sekitar 2.200 rumah tangga memiliki kebun kelapa sawit, masingmasing 2-5 hektar. Selain perkebunan yang diusahakan rakyat, terdapat tiga perusahaan swasta yang mengelola 1.818 hektar kelapa sawit dan menghasilkan 1.100 ton TBS.
Produksi kelapa sawit belum dapat langsung diolah menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Ini disebabkan belum ada pabrik pengolahan CPO. Jadi, kelapa sawit dijual ke penampung yang membawanya ke daerah lain yang memiliki pabrik CPO seperti ke Langsa dan Meulaboh.
Meski belum memiliki pabrik pengolahan CPO, potensi pengembangan tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit, terbuka lebar. Aceh Jaya memiliki potensi lahan perkebunan 49.355 hektar. Dari luas ini 23.827 hektar yang sudah dimanfaatkan. Lahan cadangan perkebunan bisa diperoleh dari hutan, terutama dari pemberdayaan lahan kritis.
Potensi kehutanan kabupaten ini 341.353 hektar. Luas lahan kritis 58.635 hektar, sedangkan hutan produksi 200.244 hektar. Sayangnya, penebangan kayu oleh tiga perusahaan yang mendapat hak pengusahaan hutan 190.504 hektar tak berjalan karena faktor keamanan. Penebangan untuk mencukupi kebutuhan kayu daerah dilakukan pengusaha yang memiliki izin pemanfaatan kayu di atas areal 1.000 hektar.
Banyak lapangan usaha yang belum tergarap optimal dan perlu perhatian investor. Sektor pertambangan seperti batu bara, semen, bauksit, dan batu granit belum tergarap.
Sektor industri pengolahan menjadi lapangan usaha yang semestinya mulai dikembangkan, melihat produksi sektor perkebunan, kehutanan, dan pertanian umumnya cukup berlimpah dan bisa ditingkatkan. Setidaknya ada kelapa sawit, karet, dan kayu yang bisa diolah. Selama ini industri pengolahan hanya menyumbang sekitar empat persen pada keseluruhan perekonomian daerah dengan nilai berkisar Rp 11 miliar setahun. Yang berkembang pun sebatas industri rumahan yang berbasis tanaman pangan.
Masalah keamanan memang menjadi momok yang menakutkan investor atau pengusaha membuka usaha di sini. Namun, menjelang status darurat militer di NAD dicabut, pemerintah kabupaten bisa berbenah mempersiapkan infrastruktur pendukung yang menyangkut jaringan jalan, listrik, dan komunikasi melalui telepon.
Ada sejumlah potensi perikanan darat, perkebunan, dan subsektor pertanian lainnya yang dilihat memberi sentuhan langsung pada masyarakat bila dikembangkan dengan sistem modern. Perikanan darat bagi kawasan pesisir boleh dikatakan selama ini belum dilakukan dengan baik, kecuali pada beberapa lokasi secara tradisional oleh masyarakat. Begitu juga perkebunan dan subsektor pertanian lainnya. Sentuhan modal yang memadai diharapkan mampu menggerakkan potensi tersebut.
Buktinya, kawasan Patek di sana mampu berkembang dan menghasilkan kopi serta jeruk manakala dikembangkan untuk program transmigrasi. Pengembangan itu tentu saja membutuhkan modal bagi petani, atau petani dilibatkan langsung dengan sistem penataan modal yang baik. Ketika Patek kemudian berkembang dan hasil pertaniannya melimpah, konfliklah yang kemudian membuatnya jadi babak belur. Kondisi keamanan menjadi alasan utama penyebab itu semuanya.
Jadilah kemudian jeruk asal Patek yang nyaris tinggal nama. Begitu juga kopi, kates, ataupun ubi kayu. Kawasan itu berubah menjadi areal yang menyeramkan manakala konflik muncul dan menyebabkan orang-orang harus angkat kaki dari sana. Sekali lagi dalam konteks ini, faktor keamanan, khususnya menyangkut keamanan bagi rakyat, menjadi sangat penting diperhatikan.
Si Mata Biru di Aceh Jaya
Jika hanya dilihat dari perawakan dan warna kulit, mereka jelas orang bule. Tak ada ciri orang Aceh atau bahkan Melayu sekalipun. Bermata biru, tinggi, dan berkulit putih, adalah ciri umum mereka. Hanya saja mereka tidak menggunakan bahasa Inggris, kecuali bahasa Aceh dan Indonesia.
Itulah sosok sebagian penduduk pedalaman Kecamatan Jaya di Kabupaten Aceh Jaya. Mereka adalah penduduk asli yang konon memiliki "garis darah" dengan orang-orang Portugis sejak abad ke-15. Di pedalaman sana mereka hidup dengan tradisi keacehan yang kental.
Tidak sulit menemukan mereka, apalagi bila mau masuk ke desa-desa. Di Pasar Patek, pada lintasan Banda Aceh-Meulaboh, misalnya, sosok "bule" itu dengan mudah ditemukan. Anak-anak yang pergi atau pulang sekolah di jalan juga di antaranya ada "anak-anak bule". Mereka bergaul dan bercanda dengan sesama temannya dengan akrab.
Dari cerita yang berkembang di masyarakat diketahui bahwa mereka berdarah Portugis. Setidaknya dari garis ayah, sejak abad ke-15 lalu. Kala itu sebuah kapal Portugis ditaklukkan serdadu Kerajaan Daya, bagian dari Kerajaan Aceh di perairan Samudra Hindia.


Orang-orang di kapal tersebut kemudian ditawan oleh kerajaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya mereka malah masuk Islam dan tetap tinggal di sana serta kawin dengan penduduk setempat. Jadilah kemudian turunan mereka berkulit putih dan bermata biru hingga sekarang.
Sosok mereka bukanlah sebuah misteri karena latar belakang kehadiran mereka yang jelas. Warna kulit dan profil akibat status perkawinan campuran tidak menghilangkan ciri khas mereka. Paling tidak mata birunya masih dominan dan warna kulit putih, meskipun tinggi badan mereka sama dengan penduduk lainnya.
Sejarah dan Budaya Aceh Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Nafa Graphica akan selalu berusaha untuk selalu memberikan pelayanan yang terbaik. Alamat; Jl. Jepara Bugel KM 05 Peteketan Rt 01 Rw 01,kec. Tahunan Kab. Jepara .E-mail: nafagraphica@gmail.com Hp: 081 390 917 439