Ukiran Lambang Garuda Pancasila

dapatkan Ukiran Lambang Garuda Pancasila di www.garudajepara.com. mengingat dalam undang-undang dasar 45 mewajibkan bangsa indonesia untuk melengkapi ruangan instansi dengan memasang atribut lambang garuda pancasila.
Anda boleh membaca atau mengcopy artikel-artikel di blog ini secara GRATISS, karena kami yakin anda juga adalah salah seorang yang selalu ingin belajar untuk maju. Semoga artikel-artikel kami bermanfaat untuk kalian semua. Amin

Senin, 07 Maret 2011

uu pornografi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI

BAB I

KETENTUAN UMUM

BAB II

LARANGAN DAN PEMBATASAN

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa,

ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan,

gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi

dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau

melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang

perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial,

radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan

barang cetakan lainnya.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun

yang tidak berbadan hukum.

4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang

memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai

unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2

Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat

dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan

terhadap warga negara.

Pasal 3

Pengaturan pornografi bertujuan:

a.mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian

luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan

martabat kemanusiaan;

b.memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;

c.memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama

bagi anak dan perempuan; dan

d.mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

Pasal 4

(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,

menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan,

menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:

a.persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

b.kekerasan seksual;

c.masturbasi atau onani;

d.ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau

UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI 1 of 10

BAB VII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 30

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,

menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,

atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana

denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 31

Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun

atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 32

Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling

banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33

Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau

menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana

paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar

rupiah).

Pasal 34

Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling

banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 35

Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang

mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah).

Pasal 36

Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan

pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar

rupiah).

Pasal 37

Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum

yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang

bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah).

Pasal 38

Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyek sebagaimana

UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI 2 of 10

memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6

(enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 40

(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan

dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan

oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,

bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.

(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili

oleh pengurus.

(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh

orang lain.

(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi agar pengurus korporasi menghadap

sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus

tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap

dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal

pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan

ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap

pasal dalam Bab ini.

Pasal 41

Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat

dikenakan pidana tambahan berupa:

a.pembekuan izin usaha;

b.pencabutan izin usaha;

c.perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan/atau

d.pencabutan status badan hukum.

Pasal 42

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang

yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk

dimusnahkan.

Pasal 43

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang

mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang

tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 44

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI 3 of 10

PENJELASAN:

Pasal 16

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak

dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang

ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 19

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang

pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Pasal 20

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang

pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Pasal 5

Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 ayat (1).

Pasal 6

Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau

menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang

diberi kewenangan oleh perundang-undangan.

Pasal 7

Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4.

Pasal 8

Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model

yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 9

Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung

muatan pornografi.

Pasal 10

Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka

umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang

bermuatan pornografi lainnya.

Pasal 11

Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.

Pasal 12

Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan

kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

Pasal 13

(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.

UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI 4 of 10

(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.

Pasal 14

Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk

kepentingan dan memiliki nilai:

a.seni dan budaya;

b.adat istiadat; dan

c.ritual tradisional.

Pasal 15

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan

penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan

kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16

Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses

anak terhadap informasi pornografi.

Pasal 17

1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau

masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial,

kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

2) Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan

mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan,

dan penggunaan pornografi.

Pasal 19

Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah berwenang:

a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa

pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;

b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi;

dan

c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari

luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 20

Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah

Daerah berwenang:

a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa

pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;

b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di

wilayahnya;

BAB III

PERLINDUNGAN ANAK

BAB IV

PENCEGAHAN

Bagian Kesatu

Peran Pemerintah

UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI 5 of 10

d.mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan

pornografi di wilayahnya.

Pasal 21

Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan,

penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 22

(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat dilakukan dengan

cara:

a.melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;

b.melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;

c.melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pornografi; dan

d.melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan secara

bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)

huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 24

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran

pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali

ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 25

Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana,

termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:

a.barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik

elektronik, optik, atau bentuk penyimpanan data lainnya; dan

b.data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.

Pasal 26

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan

membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media

optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.

(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan

elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.

(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan

dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima

tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.

Pasal 27

Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan

mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia

jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.

Bagian Kedua

Peran Serta Masyarakat

BAB V

PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI 6 of 10 Pasal 28

(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan

dalam berkas perkara.

(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat

dimusnahkan atau dihapus.

(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses

peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi

maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.

Pasal 29

(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.

(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:

a.nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;

b.nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;

c.hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan

d.keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.

Pasal 30

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,

menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,

atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana

denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 31

Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun

atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 32

Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling

banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33

Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau

menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana

paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar

rupiah).

Pasal 34

Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling

BAB VI

PEMUSNAHAN

BAB VII

KETENTUAN PIDANA

UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI 7 of 10

banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 35

Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang

mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah).

Pasal 36

Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan

pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar

rupiah).

Pasal 37

Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum

yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang

bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah).

Pasal 38

Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyek sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37,

ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

Pasal 39

Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan

kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan

paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima

puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 40

(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan

dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan

oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,

bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.

(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili

oleh pengurus.

(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh

orang lain.

(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi agar pengurus korporasi menghadap

sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus

tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap

dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal

pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan

ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap

UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI 8 of 10

pasal dalam Bab ini.

Pasal 41

Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat

dikenakan pidana tambahan berupa:

a.pembekuan izin usaha;

b.pencabutan izin usaha;

c.perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan/atau

d.pencabutan status badan hukum.

Pasal 42

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang

yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk

dimusnahkan.

Pasal 43

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang

mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang

tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 44

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

:

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “persenggamaan yang menyimpang” antara lain persenggamaan atau

aktivitas seksual lainnya dengan mayat dan binatang, oral seks, anal seks, lesbian,

homoseksual.

Huruf b

Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan

tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan, pemerkosaan.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” adalah penampakan tubuh dengan

menunjukkan ketelanjangan yang menggunakan penutup tubuh yang tembus pandang.

Pasal 5

Yang dimaksud dengan “mengunduh” adalah mengalihkan atau mengambil fail (file) dari sistem

teknologi informasi dan komunikasi.

Pasal 6

Yang dimaksud dengan “yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan” misalnya lembaga

yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga

penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga

pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan

sarana pendidikan lainnya.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

PENJELASAN

Pasal 4

UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI 9 of 10

Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan

barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau lokasi yang

disediakan untuk tujuan lembaga dimaksud.

Pasal 10

Yang dimaksud dengan “mempertontonkan diri” adalah perbuatan yang dilakukan atas inisiatif

dirinya atau inisiatif orang lain dengan kemauan dan persetujuan dirinya. Yang dimaksud

dengan “pornografi lainnya” antara lain kekerasan seksual, masturbasi atau onani.

Pasal 13

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pembuatan” termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau

menggandakan.

Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” termasuk menyebarluaskan, menyiarkan,

mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,

meminjamkan, atau menyediakan.

Yang dimaksud dengan “penggunaan” termasuk memperdengarkan, mempertontonkan,

memanfaatkan, memiliki atau menyimpan.

Frasa “selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)” dalam ketentuan ini misalnya

majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, pakaian olahraga pantai, yang

digunakan sesuai dengan konteksnya.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “di tempat dan dengan cara khusus” misalnya penempatan yang tidak

dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau

menggambarkan pornografi.

Pasal 14

Yang dimaksud dengan “materi seksualitas” adalah materi yang tidak mengandung unsur yang

dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar kesusilaan dalam masyarakat,

misalnya patung telanjang yang menggambarkan lingga dan yoni.

Pasal 16

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak

dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang

ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 19

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang

pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Pasal 20

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang

pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Sumber: dpr.go.id.

UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI 10 of 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Nafa Graphica akan selalu berusaha untuk selalu memberikan pelayanan yang terbaik. Alamat; Jl. Jepara Bugel KM 05 Peteketan Rt 01 Rw 01,kec. Tahunan Kab. Jepara .E-mail: nafagraphica@gmail.com Hp: 081 390 917 439